Gubernur Beirut Marwan Aboud mengatakan, kerugian akibat ledakan ditaksir antara 10 miliar sampai 15 miliar dolar AS (sekitar Rp144 triliun-Rp216 triliun). Nilai kerugian itu termasuk akibat langsung maupun tidak langsung dari ledakan.
Dia juga menyebut potensi krisis yang dihadapi wilayahnya, mengingat keterbatasan jumlah makanan. Gandum yang tersedia saat ini terbatas dan krisis berpotensi terjadi jika tak ada bantuan internasional.
Sebelum ledakan, perekonomian Lebanon sudah terperuk. Negara itu berada di tengah krisis terparah dipicu ketegangan politik yang diperparah pandemi Covid-19.
Bahkan pemadaman listrik di Beirut dan beberapa daerah telah melampaui 20 jam dalam sehari pada Juli lalu. Imbasnya, sebagian warga di negara berpenduduk hampir 7 juta jiwa itu berada dalam kegelapan ekstrem. Pemadaman listrik ini disebabkan berkurangnya pasokan bahan bakar.
Pemadaman menyebabkan rumah sakit utama di Beirut menutup kamar operasi dan menunda serangkaian jadwal operasi. Hal ini membuat pelayanan kesehatan lumpuh.
Sementara itu tingkat pengangguran di Lebanon melebihi 30 persen hingga akhir Mei 2020. Nilai mata uang pound Lebanon terhadap dolar AS juga terus merosot. Harga barang dan kebutuhan pokok kian melambung, membuat kehidupan warga negara semakin sulit. Ledakan dahsyat yang terjadi pada Selasa lalu semakin menambah penderitaan warga.