Temuan itu menunjukkan, waktu paruh virus (waktu yang dibutuhkan untuk mengurangi daya tahan virus hingga menjadi setengahnya—red) adalah 18 jam ketika berada di suhu 70 hingga 75 derajat Fahrenheit (21 hingga 24 derajat Celcius) dengan kelembapan 20 persen. Ini akan terjadi bila virus berada pada permukaan tak berpori, termasuk gagang pintu dan benda-benda berbahan stainless steel.
Akan tetapi waktu paruh turun virus berkurang menjadi enam jam ketika kelembapan naik menjadi 80 persen, dan hanya dua menit ketika intensitas sinar matahari ditambahkan ke dalam percobaan. Ketika virus itu aerosol (melayang di udara), waktu paruhnya turun menjadi satu jam ketika suhu 70 hingga 75 derajat dengan kelembapan 20 persen.
Di hadapan sinar matahari, waktu paruh virus yang aerosol turun menjadi hanya satu setengah menit. Bryan menyimpulkan, kondisi seperti musim panas akan menciptakan lingkungan yang dapat mengurangi potensi penularan.
“Bagaimanapun, pengurangan penyebaran tidak berarti patogen akan dihilangkan seluruhnya dan pedoman jarak sosial tidak dapat sepenuhnya dicabut,” ujarnya.
Kendati demikian, makalah penelitian itu belum dirilis untuk ditinjau oleh komunitas ilmuwan lainnya. Karena itu, sulit bagi para ahli independen untuk berkomentar tentang seberapa kuat metodologi penelitian tersebut.
Sinar ultraviolet telah lama diketahui memiliki efek untuk mensterilkan, karena radiasi itu merusak materi genetik virus dan kemampuannya untuk bereplikasi. Akan tetapi, pertanyaan kunci adalah berapa intensitas dan panjang gelombang sinar UV yang digunakan dalam percobaan dan apakah ini secara akurat meniru kondisi cahaya alami di musim panas.
“Akan lebih baik untuk mengetahui bagaimana tes itu dilakukan, dan bagaimana hasilnya diukur,” ujar Ketua Program Biologi di Texas A&M University-Texarkana, Benjamin Neuman, kepada AFP.