“Kita tidak bisa berdiri dengan tegak dan melihat kejadian itu, jadi kami hanya menundukkan kepala dan menangis,” kata seorang saksi perempuan yang kehilangan kakak, keponakan, dan saudara iparnya akibat pembunuhan massal tersebut.
“Kami memohon pada mereka untuk tidak melakukan itu, tapi mereka tidak peduli. Mereka bahkan bertanya kepada para perempuan, ‘Apakah salah satu dari mereka (korban) adalah suami kamu? Jika iya, lakukan ritual terakhirmu’,” katanya, melanjutkan.
Seorang laki-laki yang berhasil lolos dari siksaan tersebut mengatakan, tentara akan menyiksa korban dengan sadis selama beberapa jam sampai korban tewas.
“Mereka diikat lalu dipukuli dengan batu dan popor senapan, hal itu berlangsung seharian,” ujar seorang korban selamat lainnya.
Di dekat Desa Zee Bin Dwin juga ditemukan 12 potongan tubuh yang dikubur, termasuk potongan tubuh kecil yang kemungkinan anak, serta potongan tubuh orang difabel.
Jasad seorang pria berumur 60 tahunan ditemukan terikat di pohon Plum tidak jauh dari kuburan itu. Menurut laporan autopsi, terlihat jelas bukti penyiksaan.
Keluarga korban mengatakan, anak dan cucunya sudah pergi sebelum tentara masuk desa, namun pria 60 itu memilih tinggal. Dia yakin tak akan diperlakukan kasar karena sudah berumur.
Pembunuhan itu tampaknya merupakan balas dendam atau hukuman massal militer terhadap kelompok yang menginginkan pemulihan demokrasi. Pertempuran antara militer dan milisi lokal dari kelompok Pasukan Pertahanan Rakyat meningkat di daerah itu beberapa bulan sebelum pembunuhan massal, termasuk bentrokan di dekat Zee Bin Dwin.