"Ini sesungguhnya menandai akhir dari era kegelapan, antara 2010 sampai 2019, bajak laut Somalia menahan lebih dari 2.300 kru baik itu di ruang penjara atau di kapal mereka sebagai tawanan," kata anggota tim negosiasi Hostage Support Programme (HSP) dikutip dari AFP, Jumat (21/8/2020).
HSP mengatakan aksi bajak laut di lepas pantai Somalia menjadi 'mata pencaharian baru' di tengah krisis di negara tersebut. Para bajak laut--yang mendapatkan senjata dari pasar gelap--mencari target kapal-kapal nelayan maupun tanker untuk ditawan guna mendesak pemilik memberikan tebusan.
Dari ribuan tawanan, hanya sedikit yang bebas karena pemilik kapal bersedia memenuhi tebusan yang diminta bajak laut.
"Banyak dari mereka disiksa, beberapa di antaranya mati tetapi kebanyakan trauma dengan apa yang mereka alami."
"Kami sangat senang bisa menyelamatkan semua yang tersisa dan tidak mendapat uluran tangan dari perusahaan maupun negara mereka," lanjutnya.
Serangan bajak laut pada kapal-kapal tanker maupun kapal nelayan di lepas pantai Somalia mencapai puncaknya pada 2011 dengan 176 orang ditawan. Setelah itu, jumlah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.