Dave Akbarshah Fikarno, ME
Anggota Komisi I DPR RI–Fraksi Partai Golkar
DI TENGAH sorotan tajam publik terhadap berbagai isu sosial politik yang tengah menghiasi tajuk utama media-media nasional, penting untuk tetap memberi perhatian kepada isu-isu lain yang patut kita cermati dan sikapi. Beberapa hari lalu, sebuah portal berita online mengangkat kembali sebuah tragedi kemanusiaan yang selama ini terabaikan: pemenjaraan anak-anak Indonesia di Australia.
Satu tahun silam, isu ini mengemuka sesaat setelah media di Indonesia menurunkan laporan invetigasi atas kasus ini. Namun, sungguh disayangkan, hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang menghasilkan langkah-langkah konkret signifikan.
Pemenjaraan anak yang diawali kasus penyelundupan manusia (people smuggling) ini terjadi pada periode 2008-2011. Bocah-bocah lugu yang berasal dari kampung nelayan miskin dari beberapa wilayah garis pantai paling selatan Indonesia ini ditawari bekerja sebagai awak kapal, tanpa tahu persis siapa dan dalam hal apa mereka terlibat.
Himpitan kemiskinan dan minimnya pengetahuan hukum mendorong anak-anak ini menerima tawaran bekerja di kapal yang berisi orang-orang pencari suaka atau imigran gelap ke Australia.
Kementerian Luar Negeri menyatakan, selama kurun beberapa tahun tersebut terdapat 274 anak di bawah umur telah ditangkap karena dituduh ikut menyelundupkan manusia. Anak-anak malang ini ditempatkan dalam bui bersama para pelaku kriminal dewasa yang didakwa atas kasus pembunuhan, narkoba, dan lainnya.
Anak-anak ini memang telah dibebaskan, namun hingga kini belum ada permintaan maaf, lebih-lebih kompensasi atas penderitaan kemanusiaan yang telah dialami dalam penjara.
Kelalaian Identifikasi
Modus operandi pelibatan anak-anak dalam penyelundupan manusia dilakukan karena anak di bawah umur dianggap masih lugu dan akan mudah lepas dari jerat hukum jika tertangkap. Hukum di Australia menyatakan para pekerja anak di bawah umur yang ditangkap di kapal harus dipulangkan kembali ke negaranya dan tidak akan dikenai dakwaan. Disebabkan kesalahan fatal dalam identifikasi usia, sebagian di antaranya dimasukkan ke dalam penjara orang dewasa dengan keamanan maksimum.
Menurut investigasi, para korban mengaku telah mendapatkan perundungan (bullying), baik secara verbal maupun fisik, bahkan mengarah pada pelecehan seksual. Seorang korban bernama Muhammad Rasid mengaku pernah ditawari obat-obatan terlarang di dalam penjara.
Meski telah menghirup udara bebas, trauma berkepanjangan tidak pernah lepas dari batin anak-anak yang kini telah beranjak dewasa. Yang paling mengenaskan, salah satu anak bernama Erwin Prayoga meninggal dunia tak lama setelah Dia dipulangkan ke kampung halamannya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Ada dua hal yang menyebabkan kesalahan identifikasi usia anak-anak ini, semuanya berkenaan dengan faktor kelalaian manusia (human error). Yang pertama, penggunaan sinar-X pada pergelangan tangan dalam menentukan usia. Metode kontroversial ini sudah usang, bahkan telah dipertanyakan keabsahannya sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Kedua, tentu terkait kelemahan diplomasi perwakilan Indonesia di Australia. Para korps diplomatik kita lagi-lagi kecolongan dengan tidak memberikan pengawasan dan perlindungan hukum yang optimal terhadap anak-anak ini. Salah satu korban, Ali Jasmin baru berusia 13 tahun ketika dia divonis penjara selama tiga tahun. Dokumen resmi termasuk akta kelahiran yang menunjukkan bahwa Ali masih di bawah umur tidak disajikan di pengadilan.