Seiring berjalannya waktu, Kalijodo berubah menjadi lingkungan prostitusi dan perjudian bergaya mewah. Pada tahun 2002, perputaran uang dari lapak-lapak judi di Kalijodo mencapai Rp500 juta hingga Rp1,5 miliar per hari. Namun, pada tahun 2016, Pemerintah DKI Jakarta merencanakan penertiban kawasan prostitusi dan perjudian Kalijodo. Kini, Kalijodo telah berubah 180 derajat menjadi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang bisa dikunjungi keluarga di akhir pekan.
Namun, perubahan tersebut tidak sepenuhnya menghilangkan masalah di Kalijodo. Sejumlah warga mengeluhkan dugaan pungutan liar (pungli) di Jalan Kepanduan II, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara, tepatnya di area masuk RPTRA Kalijodo. Warga mengeluhkan setiap kendaraan yang melintas di jalan itu harus membayar sebesar Rp5.000 untuk motor dan Rp10.000 untuk mobil.
Jalan Kepanduan II ini merupakan jalur alternatif dari Teluk Gong Penjaringan Jakarta Utara menuju ke Tambora Jakarta Barat dan sering dimanfaatkan sebagai tempat parkir liar kendaraan pengunjung RPTRA Kalijodo. "Parkiran tersebut adalah jalanan umum yang dijadikan tempat parkiran liar, setiap kendaraan baik itu mobil maupun motor tidak boleh lewat kecuali harus mengambil karcis dan membayar seperti jalan tol," ujar Ujang, salah satu warga Penjaringan, Selasa (25/6/2024).
Lebih lanjut, Ujang menjelaskan bahwa aksi pungli itu sudah terjadi sejak tahun 2017 dan cukup meresahkan warga. Pasalnya, di tengah-tengah Jalan Kepanduan II terdapat portal, sehingga orang yang tidak mau membayar karcis maka portalnya tidak dibukakan dan dilarang melintas.
Senada dengan Ujang, Jujun, warga Penjaringan lainnya, juga mengeluhkan hal yang sama. "Itu jalan umum dijadikan parkiran juga, yang lewat situ bayar, setiap warga yang lewat itu bayar," kata Jujun.
Dugaan pungli itu, kata Jujun, dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) setempat bernama Garda Bintang Timur. Jujun juga mengungkapkan bahwa banyak sekali warga yang keberatan dengan aksi dugaan pungli itu. Namun, tidak ada satu pun warga yang berani menegur para ormas tersebut. "Banyak warga yang keberatan, tapi di sana ada yang namanya sistem premanisme, jadi warga sekitar takut," ujar Ujang.