Ayi menjelaskan, nama “Artha” yang dia sematkan pada UMKM ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti harta atau kekayaan. “Dalam pengertian yang lebih luas, nama itu dapat diartikan sebagai harta atau kekayaan dari suku Betawi yang harus dilestarikan,” ujarnya.
Lewat usaha yang dia rintis, perempuan itu berusaha memperkenalkan, mencapai visi dan misi, serta melestarikan budaya tradisional lewat hasil karya kriya yang bisa diterima oleh kalangan yang lebih luas.
Di bengkel seninya yang terletak di Jalan Terogong Nomor 22 RT 003 RW 006 Cilandak Barat, Jakarta Selatan, Ayi mempekerjakan tiga karyawan. Dua di antaranya bekerja di bagian pengolahan kayu. Sementara satu orang lagi kebagian tugas menjahit.
Dalam sebulan, pendapatan rata-rata yang diraup Ayi dari penjualan kerajinan tersebut mencapai Rp8 juta. Namun, selama pandemi Covid-19, jumlahnya sempat menurun drastis jadi Rp1 juta–Rp2 jutaan.
Salah satu penyebabnya adalah pembatasan yang diberlakukan pemerintah, yang secara praktis membuat kunjungan wisatawan ke Ibu Kota pun ikut merosot. “Karena produk kami kerajinan suvenir kayu daur ulang, yang menampilkan ciri khas Jakarta, pas selama pandemi nge-drop (turun) tidak ada penjualan,” tuturnya.
Seiring menurunnya omzet, Ayi pun terpaksa merumahkan sementara para pegawainya. Namun, dia tak mau berlama-lama terjebak dalam situasi sulit itu. Perempuan itu pun berpikir keras bagaimana agar uang tetap berputar selama pandemi.