Adapun, 13 taruna yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu adalah MB, GJN, GCM, RLW, JEDP, dan RAP. Lalu ada IZPR, PDS, AKU, CAEW, RK, EA, dan HA. Sebelumnya ke-13 orang itu juga sudah divonis pidana tapi saat itu sidang Wanak belum juga digelar.
Karena telah melanggar hukum pidana, alhasil 13 taruna tersebut gagal menjadi anggota Polri. Hal itu tertuang dalam Pasal 21 ayat (1) huruf g Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Untuk diangkat menjadi anggota Polri, seorang calon harus memenuhi syarat tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan," demikian isi pasal tersebut.
Di samping itu, dalam Pasal 92 ayat (4) huruf b Peraturan Gubernur Akpol Nomor 4 Tahun 2016 tentang Kehidupan Taruna Akademi Kepolisian menyatakan, "melakukan perbuatan pelanggaran berat dan/atau tindak pidana yang didukung dengan alat bukti yang cukup berdasarkan hasil keputusan Sidang Wanak tidak dapat dipertahankan untuk tetap mengikuti pendidikan."
Arief menekankan, dalam hal apa pun yang melanggar hukum, pihaknya tak akan segan mengambil tindakan tegas bagi mereka yang terbukti melanggar.
"Jangan memukul dan melakukan kekerasan sejak hari ini. Tradisi kekerasan senior terhadap yunior adalah perilaku yang harus dihilangkan. Senior harusnya mengayomi dan membimbing, tanamkan budaya asih-asah-asuh dalam hubungan senior yunior. Jadilah senior yang disegani bukan senior yang ditakuti. Negara akan rugi kalau Akpol meluluskan perwira yang berkarakter prokekerasan karena tidak sesuai dengan pola Democratic Policing," kata Arief menegaskan.