“Banyaknya berita bohong, ujaran kebencian, saling hujat sesama anak bangsa, saling fitnah, persekusi di media sosial yang terus berlanjut sampai sekarang adalah contoh-contoh yang tidak sesuai dengan makna yang terkandung dalam konstitusi,” ucap Bamsoet.
Contoh lainnya, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara demokratis seperti diatur di dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dalam praktiknya hanya ditafsirkan pemilihan kepada daerah secara langsung. Tafsiran tunggal semacam itu menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan melalui APBN atau APBD. Padahal, kondisi sosial masyarakat masih terjebak dalam kemiskinan dan kesenjangan.
“Politik uang yang marak terjadi dalam pemilihan kepala daerah juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat,” tutur Bamsoet.
Tak heran, kata dia, setelah 20 tahun berjalan sejak dilakukan amendemen pertama pada 1999, kini mulai dirasakan masih ada ruang-ruang kosong dalam konstitusi. Itu karena penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan berjalan beriringan dengan dinamika perkembangan masyarakat.
Dia mengungkapkan, ada berbagai pendapat soal konstitusi Indonesia saat ini. Pendapat pertama menginginkan agar konstitusi dikembalikan ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pendapat kedua menginginkan penyempurnaan melalui amendemen kelima. Selanjutnya, pendapat ketiga menginginkan perubahan menyeluruh UUD 1945 yang telah empat kali dilakukan perubahan.