Pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, dilakukanlah rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul yang pada waktu itu diwakili istrinya, Itjih, serta pihak lain. Dalam rapat tersebut, Itjih mengklaim bahwa Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi.
Selanjutnya, pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta kepada Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (dihapusbukukan). Namun, ketika itu BPPN tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul. Ratas tersebut pun tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.
Setelah melalui beberapa proses, meski ratas tidak memberikan persetujuan atas usulan penghapusbukuan sisa utang petambak oleh BPPN, pada 12 April 2004, Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dan Itjih menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir. Isi akta itu pada pokoknya menegaskan bahwa pemegang saham (Sjamsul) telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur dalam MSAA yang dibuat pada 21 September 1998.
Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani Surat Nomor SKL 22/PKPS BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. “Hal tersebut mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipasena menjadi hilang atau hapus,” kata Saut.
Pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan penanggungjawaban aset BDNI kepada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT DCD dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Oleh dirjen anggaran Kemenkeu, penanggungjawaban aset tersebut kemudian diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Pada 24 Mei 2007, PT PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal, nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.
“Dengan begitu, diduga kerugian keuangan negara yang terjadi dalam perkara ini adalah sebesar Rp4,58 triliun,” kata Saut.