Abdul Muis lalu beralih profesi ke bidang sastra dan jurnalistik. Dia menjadi anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia hingga korektor di Harian De Preanger Bode. Selama menjadi korektor, Muis banyak membaca tulisan-tulisan orang Belanda yang berisi penghinaan kepada Indonesia.
Jiwa jurnalisnya pun terdorong dengan menulis artikel-artikel yang berisi tangkisan atas penghinaan Belanda. Artikel-artikelnya dikirim ke De Express, harian berbahasa Belanda yang dipimpin Douwes Dekker.
Abdul Muis juga berkecimpung di dunia politik. Dia pernah bergabung ke Sarekat Islam (SI), sebagaimana tertera dalam buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan karya Johan Prasetya (2014).
Moeis memperjuangkan nasib rakyat Indonesia dengan berbagai cara. Saat berada di Belanda, dia mempengaruhi tokoh-tokoh politik di Negeri Kincir Angin itu untuk membangun sekolah tinggi teknologi di Indonesia. Berkat perjuangannya, sekolah itu berhasil didirikan dan saat ini dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pulang dari Belanda, Abdul Muis meneruskan karier jurnalistiknya dengan bekerja di Harian Neraca. Dia juga pernah memimpin Harian Utusan Melayu dan Perobahan. Lewat surat kabar itu, Muis menyebarkan tulisannya yang melawan penjajahan Belanda.