Catatan atas Nota Keuangan RAPBN 2025

Didik J Rachbini
Guru Besar dan Ekonom Senior Indef Prof. Didik J Rachbini, Ph.D.

Dengan janji politik yang banyak sekali, maka sulit bagi pemerintahan yang akan datang bisa mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada. Laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus.

Sampai pertengahan  tahun 2024 ini, telah ditawarkan setidaknya hampir Rp1.000 triliun SBN, tetapi yang laku di pasar hanya separuhnya sekitar Rp517 triliun.  Sebelumnya tahun 2023, SBN yang ditawarkan di pasar mancapai Rp1.800 triliun, tetapi laku di pasar sebesar Rp807 triliun.  Jadi, selama 10 tahun ini pemerintah Jokowi sudah mendorong ekonomi utang masuk jurang sehingga harus gali lubang tutup lubang.

Pemerintahan SBY mewariskan utang sekitar Rp2.608 triliun. Sepuluh tahun berikutnya jumlah utang mencapai Rp8.338 triliun, naik tiga kali lipat dengan pembayaran bunga yang sangat tinggi sebesar Rp497 triliun.  Beban bunga utang ini jauh lebih besar dari pos anggaran kementerian, sektor maupun provinsi mana pun.  Jika dibandingkan misalnya dengan APBD provinsi, pembayaran utang ini 1600 persen lebih tinggi dari total APBD rakyat Jawa Barat.  

Sekarang daya beli masyarakat turun.  Target pertumbuhan ekonomi 5 persen sebenarnya tidak  cukup untuk memulihkan daya beli tersebut.  Jadi harus ada upaya reformasi struktural agar tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari, yang ditargetkan 5,2 persen pada tahun 2025.  Ini diperlukan agar ada ruang lebih untuk mendukung peningkatan penerimaan pajak. Namun, jika daya beli masyarakat melemah atau terjadi tekanan inflasi yang tinggi, maka kemampuan masyarakat untuk membayar pajak bisa terpengaruh. Pemerintah sekarang akan berjibaku menjaga keseimbangan antara pengumpulan pajak dan tidak memberatkan ekonomi masyarakat.

Dalam hal penerimaan pajak dan menjaga momentum ekonomi yang baik, faktor internal Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak ke depan akan sangat menentukan.  Kemampuan Kementerian Keuangan dan sekaligus siapa menterinya akan menjadi faktor kritis. Reformasi perpajakan mutlak perlu terus dilanjutkan, termasuk digitalisasi dan perluasan basis pajak. Sektor apa saja yang harus digali, tidak bisa tidak adalah sektor industri (non-migas), termasuk jasa, sebagai tiang utama. Tetapi sektor ini melorot dan tumbuh rendah serta mengalami stagnasi bertahun-tahun karena tidak ada sentuhan kebijakan.  Jika pertumbuhan sektor ini bisa tumbuh 8-10 persen, maka pengumpulan pajak akan mendapat ruang yang leluasa. 

Sektor baru yang harus digali tidak lain adalah ekonomi digital dan ekonomi kreatif, termasuk sektor telantar yakni pariwisata. Dengan berkembangnya e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital, sektor ini merupakan peluang besar untuk menambah penerimaan pajak melalui pengenaan pajak pada platform digital dan transaksi daring. 

Editor : Maria Christina
Artikel Terkait
Nasional
2 bulan lalu

Persoalan Keamanan Data dan Upaya Perlindungannya

Nasional
2 bulan lalu

Didik J Rachbini Kritik Penempatan Rp200 Triliun di Bank BUMN: Langgar Undang-Undang!

Nasional
2 bulan lalu

Di Balik Penunjukan Djamari Chaniago sebagai Menkopolkam

Nasional
2 bulan lalu

Ketika Gaji Guru Kalah dari Juru Parkir

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal