“MPR berkuasa betul, milih presiden, menetapkan GBHN, bisa memberhentikan presiden, bahkan kita berhentikan presiden betulan waktu itu,” ujarnya.
Akhirnya, Irman mencari utusan yang paling netral yakni utusan Golongan yang waktu itu diketuai oleh Marzuki Usman, anggotanya hanya ada 4 orang termasuk Sarwan Hamid, Abdurrahman Wahid sebagai utusan NU dan dirinya sendiri. Namun, utusan Golongan hanya bertahan beberapa bulan saja, dan pada sidang berikutnya dirinya meminta agar utusan Daerah diadakan kembali dan diamini.
“Yang seharusnya anggotanya 135 hanya terkumpul sekitar 38 orang. Ini motor penggerak perjuangan, soal tadinya hampir nyaris enggak ada,” ungkap Irman.
Kemudian, politikus asal Sumbar ini melanjutkan, setelah amandemen keempat, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi, MPR hanya lembaga negara. Namun, karena masalah daerah penting, bukan saja orang dan politik, tapia da sumber daya alam (SDA) dan lain sebagainya, maka DPD tetap ada. Setiap provinsi diwakili empat orang, dan waktu Pemilu 2004 itu ada 112 anggota dari 28 provinsi.
Irman juga menceritakan saat dirinya memimpin DPD pada periode 2009-2014, bersama dua Wakil Ketua DPD RI yakni GKR Hemas dan Laode Ida, ia memimpin rapat pimpinan di Hotel Mulya, dan waktu itu anggaran DPD masih menumpang pada MPR RI. Dan saat ia memimpin juga lah tulisan “Dewan Perwakilan Daerah” bisa terpampang di Gedung DPR bersama dengan tulisan MPR dan DPR.