Agung Legiarta
Pekerja di media dan suka jogging di Monas
JIKA diamati, reaksi yang paling mengejutkan dari debat kedua Pilpres 2019 adalah pelaporan capres ke Badan Pengawas Pemilu. Kandidat petahana Joko Widodo diadukan atas dugaan penyebaran informasi bohong dan fitnah soal lahan Prabowo Subianto. Sebaliknya, Barisan Advokat Indonesia (terafiliasi sebagai pendukung Jokowi-Ma’ruf) mengadukan Djoko Santoso, ketua nasional Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, atas pernyataannya yang menuding capres petahana berlaku curang.
Sementara reaksi lainnya, relatif wajar. Suasana iklim demokrasi, pro dan kontra respon masyarakat atas debat. Percakapan publik yang bergulir pascadebat, antara lain headline media massa yang mengulas debat kandidat, tayangan dialog televisi, percakapan grup aplikasi whatsapp, media sosial warganet, polling, atau yang down to earth, obrolan di warung kopi.
Di Twitter, misalnya, twit akun Greenpeace menjadi ramai terkait kebakaran hutan. Atau akun-akun yang berbalas menyoal kepemilikan lahan HGU kandidat presiden (di pidato terbaru-nya saat Acara Konvensi Rakyat, capres Jokowi juga 'membalas' tantangan pengembalian lahan). Di tengah polarisasi pendukung kedua kandidat, komentar soal penampilan kedua kandidat cenderung agresif.
Alat Persuasi
Sedianya debat adalah senjata untuk mem-persuasi dalam pemilihan. Amerika Serikat, contohnya. Pemilihan kandidat presiden hadir dengan kultur debat yang kuat.
Merunut sejarah, ada debat bersejarah pada tahun 1858, yakni Abraham Lincoln dan Stephen Douglas yang head to head dalam debat kandidat senator Illinois. Saking terkenalnya, debat itu dianggap ‘a masterful exemplars of political rhetoric’ dan menjadi referensi diskusi ahli mengenai debat politik di Amerika sana (Perloff, 2014).
Kala itu, isu debat mengenai perbudakan. Lincoln dianggap berhaluan absolut kanan, menilai perbudakan adalah hal yang salah secara moral. Sang lawan, Douglas yang mengedepankan kedaulatan populer, mengambil posisi relatif, yakni mengembalikan persoalan moral perbudakan pada masyarakat, apakah ingin dilanjutkan atau menghapusnya.
Keduanya saling beradu retorika, tak sedikit menyerang argumen dan menguatkan keyakinannya di hadapan massa. Ilustrasi debat yang cukup menarik bisa kita lihat dari Youtube, Angry Town Halls of 1858 (atau bisa lihat http://www.ushistory.org/us/32b.asp).
Sejumlah analisis dikemukakan mengapa Douglas, senator petahana, unggul atas Lincoln dalam pemilihan. Pertama, Douglas baik argumen dalam debat dan kampanyenya, berhasil meyakinkan di hadapan warga Illinois yang belum memutuskan (undecided/swing voters) bahwa Lincoln merupakan seseorang yang radikal abolisionis (gerakan anti-perbudakan Eropa, yang bentrok dengan kebiasaan masyarakat kala itu).
Kedua, audiens yang hadir tidak fokus pada kedua kandidat yang mahir menyampaikan argumen-nya. Audiens bahkan hadir dengan tujuan piknik, makanan, dan sebagian lainnya tenggelam dalam euforia momentum drama acara debat (Zarefsky, 1990).
Ketiga, isu debat terkait perbudakan dianggap ofensif terhadap masyarakat (sebagian besar masih menerapkan-nya). Berbeda dengan era saat ini, semua orang sepakat untuk menghapus perbudakan (dan pada posisi ini, besar kemungkinan berada di pihak Lincoln).
Sementara di era debat modern AS, rutinitas bisa dilihat dari debat John F Kennedy dan Richard Nixon pada 1960, yang disiarkan pertama kalinya oleh stasiun televisi. Dan mulai 1976, debat menjadi ritual dalam pemilihan presiden AS hingga saat ini, yang diselenggarakan Komisi Debat Presiden AS.
Dimensi Debat
Ada tiga hal yang menjadi dimensi debat. Pertama, bagi kandidat. Fungsinya, debat menjadi panggung utama untuk merebut swing voter/undecided, untuk meneguhkan pilihan atau pemilih yang sudah mengambil keputusan, dan untuk mengubah pemilih yang memiliki pikiran terbuka dan peluang berubah (Hinck, 1993). Pada dimensi ini, debat betul-betul digunakan untuk ‘meng-eksploitasi’ tujuan konkret (Kraus, 1988).
Kedua, bagi pemilih. Fungsinya untuk membantu pemilih menentukan pilihan kandidat yang bisa dan dapat melayani kepentingan dan nilai dari si pemilih. Dimensi ini dibedakan dari karakteristik pemilih. Misal, untuk partisan, menjadi kunci untuk menopang/memperkuat artikulasi strategi kandidat dalam mendekati swing voter.
Sementara untuk pemilih yang melek politik, menjadi perangsang percakapan politik misal di era sosial media saat ini, bisa percakapan semacam twitter. Dan bagi pemilih yang kurang terlibat, debat menjadi ajang sorak sorai lomba, dimana satu kandidat didukung, dan berharap kesalahan (gaffe) dilakukan kandidat lawannya.
Ketiga, bagi sistem politik atau demokrasi. Fungsinya menjadi simbolik dimana forum real-time tanpa perantara ketika kandidat membahas isu kebijakan. Berbeda dengan iklan politik dengan konsultan, atau berita yang di edit terlebih dahulu oleh tim redaksi. Melalui debat, pendidikan dan pengetahuan masyarakat sipil diharapkan bertambah.
Panggung Debat
Debat selevel presiden, tentu dituntut standar tinggi. Lantas bagaimana dengan debat Jokowi versus Prabowo? Sebagai performer panggung, keduanya dievaluasi tidak hanya on panggung, tetapi juga yang bersifat off panggung. Seberapa positif mereka di mata voter relatif bergantung pada besar kecil disparitas on-off tadi.
Sejumlah poin penting bisa dilihat. Pertama, tampilan visual. Para ahli mengemukakan tampilan visual dapat mempengaruhi terhadap persepsi kandidat. Di era dimana debat disiarkan televisi, penampilan fisik benar-benar diperhitungkan, yakni medium yang paling memiliki konsekuensi bagi kandidat.