Tanah itu direncanakan untuk pembangunan Gedung Pertamina Energy Tower (PET) sebagai perkantoran PT Pertamina (Persero) serta seluruh anak perusahaannya.
Kemudian, pada kurun waktu Juni 2013 sampai Februari 2014, PT Pertamina telah melakukan proses pembelian tanah sebanyak empat lot yang terdiri dari 23 bidang tanah dengan total luas sebesar 48.279 meter persegi dari PT SP dan PT BSU seharga Rp35.000.000 per meter persegi. Nilai itu diluar pajak dan jasa Notaris-PPAT yang totalnya sebesar Rp1.682.035.000.000.
"Bahwa di dalam proses pembelian tanah yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero), diduga telah terjadi perbuatan melawan hukum (tidak mendasari kepada ketentuan dan peraturan yang berlaku," kata Arief.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara itu, VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menegaskan menghormati penetapan tersangka tersebut. "Terkait penetapan status hukum mantan direksi Pertamina oleh Bareskrim Polri. Pertamina menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Bareskrim Polri," katanya.
Fadjar menyebut kasus itu terjadi lebih dari 10 tahun lalu. Proses hukum diharapkan bisa berjalan sesuai aturan yang berlaku.
"Dapat kami sampaikan bahwa kasus tersebut terjadi pada tahun 2012-2014 yang lalu," katanya.
Pertamina dipastikan menjalankan operasional perusahaan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
"Dalam menjalankan operasional perusahaan Pertamina senantiasa berkomitmen untuk mengelola bisnis dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG)," katanya.