JAKARTA, iNews.id – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyambut baik putusan Mahkamah Agung (MA) yang membolehkan mantan narapidana (napi) korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019. Menurut dia, MA telah mengembalikan pengertian dan kesadaran hukum yang benar, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh membuat norma, karena itu memang bukan tugas KPU.
“Pembuatan norma hanya dilakukan oleh DPR bersama presiden dalam pembuatan undang-undang (UU),” ujar Fahri saat dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (14/9/2018).
Politikus asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu berpendapat, KPU sebagai pelaksana teknis pemilu hanya boleh membuat aturan yang sesuai dengan undang-undang. KPU, kata Fahri, tidak boleh membuat aturan tambahan yang melahirkan norma baru dan lain-lainnya.
“Jadi keputusan MA ini melegakan dan kepada KPU untuk segera merevisi PKPU (Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018) yang sesuai dengan undang-undang dan putusan MA, serta putusan MK (Mahkamah Konstitusi) sebelumnya,” kata dia.
MA akhirnya mengeluarkan putusan terkait uji materi atas Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam putusannya tersebut, MA membolehkan mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual, dan bandar narkoba untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah, membenarkan judicial review atas PKPU Nomor 20/2018 telah diputuskan pada Kamis (13/9/2018) kemarin. “Iya, jadi peraturan KPU itu dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, Undang-undang Pemilu tentunya,” ujar Abdullah kepada iNews.id, Jumat (14/9/2018).
Majelis yang memeriksa permohonan uji materi PKPU tersebut terdiri atas tiga hakim agung yakni Irfan Fachrudin, Yodi Martono, dan Supandi. Uji materi itu sendiri dimohonkan Wa Ode Nurhayati, Muhammad Taufik, dan lain-lain, melalui nomor perkara 45 P/HUM/2018 dengan KPU sebagai pihak termohon.