Survei terbaru LP3ES (5 Mei, 2021) misalnya, dengan jelas memperlihatkan Ganjar sebagai kandidat yang menjanjikan selain Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, berserta nama-nama populer lainnya sepeti AHY dan Sandiaga Uno.
Berbagai survei itu juga masih memperlihatkan bagaimana nama Ganjar jauh lebih eksis ketimbang tokoh-tokoh PDIP lainnya. Eksistensinya itu bisa jadi makin baik, jika para pendukungnya dapat mengolah stuasi saat ini sebagai pembuktian bagaimana dirinya adalah sosok yang dizalimi oleh partainya sendiri.
Muncul sebagai sosok yang dizalimi itu juga pernah membawa dampak positif bagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat pencalonannya di tahun 2004. Apakah Ganjar akan meniti sukses yang sama pada dua puluh tahun kemudian? Biarkan sejarah yang akan mencatatnya.
Berangkat dari berbagai peluang itu, mengharapkan Ganjar dan para pendukung-pendukungnya, termasuk pendukung dari kalangan internal PDIP sendiri, untuk berhenti adalah merupakan langkah yang tidak realistis.
Sebaliknya, situasi ini seharusnya menjadi sinyal peringatan bagi PDIP untuk merespons secara bijak, apalagi Pilpres 2024 masih cukup jauh, sehingga masih ada peluang untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya kolaboratif ketimbang kompetitif.
Ini penting agar langkah-langkah selanjutnya dalam menyongsong Pilpres 2024 tetap dalam koridor keutuhan partai dan bukan justru akan mengarah menjadi ajang ‘adu Banteng’ yang tidak perlu.*
*Artikel ini telah tayang di Koran SINDO