Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
TIDAK dipanggilnya Ganjar Pranowo pada acara pengarahan untuk soliditas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Jawa Tengah pada Sabtu (22/5/2025) memunculkan pesan yang sangat jelas sekali. Ganjar, yang juga gubernur Jawa Tengah, tidak lagi dianggap sebagai sosok kader ideal bagi PDIP.
Tuduhan utamanya yakni Ganjar lebih rajin ber-media sosial (medsos) ketimbang melakukan kerja-kerja nyata bagi partai. Orientasinya pun dipertanyakan, mengingat terkesan kuat bagi PDIP bahwa aktivitas yang dikedepankan Ganjar cenderung untuk dirinya sendiri ketimbang partai.
PDIP juga semakin gusar terkait soal etika politik Ganjar. Bagi PDIP, seorang kader yang akan terlibat dalam persoalan penting sekelas pemilihan presiden hendaknya bersikap rendah hati bukannya merasa paling super (baca: pintar).
Di sisi lain, bagi seorang Ganjar (dan para pendukungnya) apa yang menimpanya merupakan sesuatu yang tidak pantas diterima. Seorang pengamat bahkan melihat hal ini sebagai sebuah penghinaan. Argumentasinya, bagaimana mungkin kader PDIP nomor satu di Jawa Tengah itu justru tidak dipanggil oleh kegiatan partai di wilayahnya sendiri.
Meski di permukaan Ganjar tampak tidak terlihat merasa terhina, namun tentu saja menyisakan tanda tanya atau ganjalan dengan situasi yang muskil itu. Apalagi disertai ultimatum jika tidak berkenan dia dipersilakan keluar dari partai. Namun demikianlah hakikat kehidupan partai di Indonesia. Suatu yang muskil itu mungkin saja terjadi, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan posisi nomor satu di republik ini.
Medsos Langgam Baru Politik
Jika ditelaah secara objektif, sebenarnya tidak ada masalah dengan pemanfaatan media sosial. Media sosial merupakan langgam baru dalam aktivitas politik saat ini yang lumrah.
Diintensifkan pertama kali oleh Barack Obama menjelang Pilpres Amerika Serikat 2008, saat ini berpolitik melalui media sosial bukan barang baru, bahkan menjadi sebuah kebutuhan untuk menyampaikan pesan-pesan politik dengan jangkauan yang lebih luas dan biaya murah.
Apalagi Indonesia adalah salah satu dari 10 besar negara dengan tingkat “kecanduan” medsos yang tinggi, dengan pengguna sekitar 170 juta atau 61,8 persen dari total penduduk (Hootsuite-We Are Social, 2021). Maka jelas medsos merupakan sarana yang tidak bisa diabaikan dalam kontestasi politik.
Selain itu, dilihat dari prestasi untuk mengondisikan Jateng tetap sebagai basis utama PDIP, Ganjar memainkan peran dengan baik. Dalam konteks kepartaian, baik langsung ataupun tidak, dia merupakan kader yang turut berkontribusi dalam menjaga marwah partai di mata para pendukungnya.
Sementara sebagai pimpinan pemerintahan di provinsi tersebut, meski tentu tidak dapat dikatakan sempurna, namun hingga kini belum ada sebuah kesalahan yang demikian fatal dalam kacamata publik.