Dia menuturkan, masyarakat semestinya dapat memperhitungkan kearifan Polri yang telah memberi toleransi waktu kepada pengunjuk rasa.
Diketahui, pada 21 dan 22 Mei lalu, sesuai Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, semestinya unjuk rasa berakhir pukul 18.00 WIB. Namun karena koordinator massa meminta kelonggaran waktu berbuka puasa dan Salat Tarawih bersama, Polri memperpanjang batas waktu berkerumun hingga pukul 21.00 WIB.
“Diberikan toleransi oleh polisi untuk salat tarawih. Perhitungkan juga kearifan-kearifan toleransi yang diberikan polisi. Tapi ketika dini hari, ada rombongan lain melakukan perusakan. Enggak bisa dong aparat keamanan seperti patung yang diam saja, sementara massa bebas melakukan perusakan-perusakan,” kata Agus.
Agus mengatakan, polisi telah berupaya menangani kebrutalan massa secara defensif, tetapi bukan berarti polisi harus diam saja ketika dilempari batu oleh massa. “Pakai logika saja, polisi juga tidak mau untuk badannya dipasang hanya untuk dilempari batu dan tidak boleh melawan. Pikirkan ini semua. Saya melihat Polri sudah melaksanakan tugasnya secara profesional dan semaksimal mungkin bersikap defensif, tidak ofensif,” ucap Agus.