Dalam sejarah sebelum Indonesia merdeka, para pemuda memegang peran penting. Dulu ada perkumpulan mahasiswa di Belanda yang mendirikan organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1908.
Pemrakarsa PI adalah Sutan Kesayangan dan R.N. Noto Suroto. Tokoh-tokoh yang tergabung di antaranya Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.
Majalah Hindia Belanda pada tahun 1923 memuat deklarasi PI yang memakai kata "Bangsa Indonesia". Akhirnya pada tahun 1925 deklarasi tersebut berkembang menjadi manifesto politik. Aksi kegiatan tersebut membuat pemerintah Belanda merasa terancam dengan adanya organisasi pergerakan nasional.
Selain itu, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013), pada tanggal 7 Maret 1915 berdiri sebuah perkumpulan pelajar bernama Tri Koro Dharmo.
Anggotanya terdiri dari para pelajar bumiputera dari sekolah-sekolah dan perguruan yang ada di Jawa. Tujuan perkumpulan pelajar tersebut ialah untuk mengubah cara pandang para pemuda akan kondisi yang terjadi di Hindia Belanda.
Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974), setelah Tri Koro Dharmo, muncul berbagai perkumpulan pemuda kedaerahan, diantaranya Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes, Sekar Rukun, Jong Islaminten Bon, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), dsb karena mempunyai kesamaan tujuan, akhirnya muncul inisiatif penggabungan perhimpunan pemuda yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda. Istilah Sumpah Pemuda justru muncul tiga dekade setelah adanya kongres.
Dengan digelarnya Gebyar Wawasan Kebangsaan, Lemhannas RI berharap dapat memberikan semangat kepada para pemuda yang tengah berjuang di masa kini untuk menggapai cita-cita untuk tetap terus melakukan hal positif di tengah situasi pandemi. Terlebih tahun 2045 diproyeksikan menjadi masa emas bagi Indonesia. Pada 2045, Indonesia akan memiliki bonus demografi, di mana angka usia produktif lebih banyak dibandingkan usia tidak produktif.