Kala itu, Belanda datang dengan membonceng tentara sekutu, NICA. Tentara Belanda beralasan ingin membebaskan tawanan perang usai Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia 2.
Bahkan, masyarakat Surabaya merobek bendera Belanda di atas hotel Yamato, pada 19 September 1945, sebagai bentuk protes kehadiran NICA dan Belanda.
Sebelumnya, bendera tersebut sengaja dipasang oleh beberapa orang keturunan Indo-Belanda. Intensitas semakin terasa panas ketika komandan militer Inggris, Albertine Walters Sothern Mallaby tewas pada 30 Oktober dalam kontak senjata, di sekitaran Jembatan Merah, Surabaya.
Kematian Mallaby jelas membuat tentara Inggris naik pitam dan meminta Soekarno untuk bertanggung jawab. Inggris bahkan mengultimatum Indonesia untuk segera menyerahkan seluruh senjatanya kepada Inggris, paling lambat tanggal 10 November sebelum pukul 6 pagi.
Sayangnya, perbincangan yang dilakukan pemerintah provinsi Jawa Timur dan pemerintah pusat tidak menemui titik terang alias buntu. Soekarno pun menyerahkan seluruh keputusan di tangan rakyat Surabaya.
Gubernur Jawa Timur kala itu, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, bersama masyarakat Surabaya memutuskan untuk melawan Inggris dan pecahlah pertempuran 10 November 1945. Ribuan masyarakat ikut dalam pertempuran ini.