Aksi Korporasi Sukses tapi Dikriminalisasi
Para direksi melakukan transformasi perusahaan melalui corporate action untuk tugas melayani penyeberangan di seluruh nusantara. Pilihannya terbatas karena tidak banyak tersedia pembelian kapal dalam jumlah besar. Peluang aksi korporasi muncul dengan mengakuisisi perusahaan sejenis yang tidak berjalan optimal.
Aksi ini sangat baik secara manajemen dan sukses dilakukan sehingga menambah kapasitas layanan penyeberangan yang berguna untuk masyarakat. Namun aksi korporasi seperti ini dipermasalahkan dengan kacamata hukum yang picik sehingga banyak CEO di masa mendatang tidak akan berani melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif.
Perusahaan secara objektif meraih kinerja yang bagus dan terus melebarkan sayapnya melayani masyarakat. Direksi meningkatkan laba perusahaan yang tertinggi selama ini, yakni Rp637 miliar pada tahun 2023 dan meraih peringkat 7 BUMN terbaik. Direksi tidak mencuri satu sen pun uang perusahaan, tetapi ada indikasi hukum dipengaruhi kepentingan tertentu hingga melahirkan hukuman yang dholim 4,5 tahun penjara. Tuduhan merugikan negara Rp1,25 triliun—98,5% dari nilai akuisisi PT Jembatan Nusantara—sangat naif dan dibuat-buat dengan menilai kapal-kapal yang beroperasi sebagai besi tua.
Tetapi, aksi korporasi melibatkan transaksi dana besar yang sering dikangkangi para pemburu rente yang berselingkuh dengan kekuasaan. Ada indikasi, meski aksi korporasi sukses, ada pihak tertinggal dan kecewa sehingga melakukan balasan melalui hukum yang dikendalikan kekuasaan. Di sinilah terjadi hukum yang absurd, sesat, dan melawan nurani serta akal sehat. Ini harus menjadi pelajaran sejarah hukum yang menyesatkan, dan mesti ada yang menyelidiki proses gelap di balik kasus ini serta mengungkapnya agar tidak terulang kembali (Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan).