Didik J Rachbini
Rektor Universitas Paramadina
KASUS Kaesang Pangarep, anak Presiden Joko Widodo yang menggunakan pesawat jet pribadi menjadi perhatian publik. Banyak yang mendesak agar penggunaan fasilitas mewah oleh anak pejabat negara tidak hanya menjadi objek kritik etika dan politik, tetapi juga harus dan mutlak untuk dimajukan ke ranah hukum karena sudah dalam kategori gratifikasi.
Penelusuran hukum lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah ada indikasi fasilitas tersebut diterima sebagai imbalan dari pihak ketiga, terutama jika pihak tersebut memiliki kepentingan tertentu yang bisa dipengaruhi oleh keputusan ayahnya sebagai presiden.
Demi yurisprudensi, seorang anak seorang pejabat negara, seperti anak presiden dalam kasus ini, menerima fasilitas atau uang dari seorang pengusaha atau pihak lain yang memiliki kepentingan tertentu, bisa dianggap sebagai gratifikasi. Meski anak tersebut bukan pejabat negara, ada kekhawatiran fasilitas atau uang tersebut diberikan dengan harapan memengaruhi keputusan yang diambil oleh pejabat terkait, dalam hal ini presiden.
Jika ini dibiarkan, maka pejabat yang berkuasa akan merasa leluasa memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sekarang momentum yang tepat karena merupakan transisi di mana pejabat hukum seperti KPK, tidak perlu khawatir dan takut terhadap kekuasaan yang otoriter. Jika hukum dan KPK masih khawatir terhadap kekuasaan yang transisi dan lemah seperti saat ini, maka rakyat tidak perlu berharap lagi terhadap hukum yang juga rusak karena memang telah dirusak oleh kekuasaan Jokowi.
Kasus Kaesang sudah gamblang merupakan bentuk, kelakuan dan praktik gratifikasi. Ini sama persis dengan kelakuan anak-anak pejabat masa Soeharto. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.