Ketiga, kata dia, pengusulan capres semestinya dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya. Dengan begitu, Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Keempat, syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy, bukan open legal policy. Karenanya, Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Kelima, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional, sehingga pasal tersebut bertentangan dengan pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Keenam, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu, sehingga pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945. Ketujuh, presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden (pilpres) karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
“Kedelapan, kalaupun Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi MK agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945,” kata Denny.
Kesembilan, Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 bukanlah constitutional engineering (rekayasa konstitusional), tetapi justru adalah constitutional breaching (pelanggaran konstitusional). “Sebab, pasal 222 di UU tersebut melanggar Pasal 6 ayat 2; Pasal 6A ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5; Pasal 22E ayat 1 dan 2, serta; Pasal 28D ayat 1 UUD 1945,” tutur Denny.