“Gubernur adalah jabatan sipil, jadi tak dibenarkan polisi aktif menduduki jabatan tersebut,” tutur Fadli.
Ketiga, kata dia, pemerintah juga melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Dalam Pasal 20 ayat 3 UU itu disebutkan, pengisian jabatan ASN tertentu memang bisa berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri. Akan tetapi, kata Fadli, ketentuan ini pun ada batasnya, yaitu hanya bisa dilaksanakan pada instansi pusat. Sementara, gubernur adalah pejabat pemerintah daerah.
Tidak hanya menabrak UU, pemerintah dinilai Fadli juga melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, turunan dari UU ASN. Pada Pasal 157 ayat 1 PP itu ditegaskan, jika ada prajurit TNI dan anggota Polri yang kompetensinya dibutuhkan untuk pengisian jabatan pimpinan di luar instansi pusat, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas aktif.
“Nah, semua undang-undang dan peraturan tadi telah dilanggar pemerintah saat pelantikan Komjen Pol M Iriawan sebagai pj gubernur Jawa Barat, Senin kemarin. Ini tak boleh dibiarkan. Negara tak bisa dikelola seenak selera penguasa. Dulu sudah saya ingatkan, biang kerok semua ini adalah Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 yang telah menyesatkan seluruh peraturan yang ada di atasnya,” ujarnya.
Fadli mengatakan, Permendagri No 1 Tahun 2018 telah memberikan tafsir salah melalui pencantuman frasa “setara jabatan tinggi madya”, sehingga seolah aparat negara nonsipil memiliki hak yang sama dengan ASN.
“Permendagri ini bermasalah, karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. Dulu saya menyarankan agar Permendagri ini segera dicabut, tapi tak dihiraukan. Akibatnya, kini Kemendagri telah menyeret polisi kembali ke pusaran politik praktis. Ini kan tidak benar. Saat Reformasi dulu kita sudah mengkoreksi dwifungsi TNI, jangan kini pemerintah mengulang kesalahan dengan dwifungsi Polri,” kata dia.