JAKARTA, iNews.id - Jejak karier Ki Anom Suroto menjadi kisah perjalanan panjang seorang maestro yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk melestarikan seni pedalangan. Dalang kawakan yang bernama lengkap Ki Kanjeng Kyai Raden Tumenggung (KKRT) H. Lebdo Nagoro Anom Suroto ini wafat di Solo pada Kamis, 23 Oktober 2025, pukul 07.00 WIB, dalam usia 77 tahun.
Sosoknya dikenal sebagai tokoh besar yang berhasil membawa wayang kulit Jawa ke panggung dunia dan menjadi simbol kebanggaan budaya Indonesia.
Ki Anom Suroto lahir pada 11 Agustus 1948 di Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Sejak kecil, ia telah akrab dengan dunia wayang kulit. Lingkungan keluarga yang penuh dengan nuansa seni membuatnya tumbuh sebagai anak yang mencintai budaya Jawa.
Bakatnya dalam mendalang diturunkan langsung dari sang ayah, Ki Sadiyun Harjadarsana, seorang dalang ternama pada masanya. Ia juga merupakan kakak dari Ki Warseno Slenk, yang kemudian mengikuti jejaknya di dunia pedalangan.
Sejak masa remaja, Anom muda sudah menunjukkan kecerdasan dalam memahami karakter tokoh wayang dan mampu menirukan berbagai gaya sabetan serta sulukan dengan suara khas yang kuat dan berwibawa. Kemampuannya inilah yang kemudian membuka jalan menuju karier panjangnya sebagai dalang profesional.
Jejak karier Ki Anom Suroto dimulai secara resmi pada tahun 1968, ketika ia tampil di Radio Republik Indonesia (RRI). Dari panggung radio itulah namanya mulai dikenal luas oleh masyarakat. Penampilannya yang memadukan suara merdu, narasi yang mendalam, serta gaya sabetan yang lembut namun berenergi membuatnya cepat populer di kalangan penikmat wayang kulit.
Kepopuleran Ki Anom tak hanya terbatas di tanah air. Ia kemudian menembus batas budaya dan tampil di berbagai negara. Ia dikenal sebagai dalang Indonesia pertama yang berhasil tampil di lima benua, memperkenalkan keindahan dan filosofi wayang kulit kepada dunia internasional. Salah satu momentum penting dalam kiprahnya adalah keterlibatannya dalam Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada tahun 1991, yang menjadi tonggak sejarah pengenalan budaya Jawa di luar negeri.
Dedikasi dalam Pendidikan dan Kesejahteraan Seniman
Selain sebagai dalang, Ki Anom juga memiliki peran besar dalam pendidikan dan pembinaan seni pedalangan. Ia aktif membuka pelatihan dan kursus bagi calon dalang di kediamannya. Dengan cara ini, ia berharap regenerasi seniman pedalangan terus berjalan.
Tak hanya berhenti di dunia pendidikan, ia juga menunjukkan kepedulian sosial dengan mendirikan koperasi dan yayasan dalang. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan para pelaku seni tradisi, agar profesi dalang dan pengrawit tetap bertahan di tengah tantangan zaman.
Kiprah panjang Ki Anom Suroto diakui secara luas, baik oleh pemerintah maupun lembaga kebudayaan. Ia menerima berbagai penghargaan bergengsi sepanjang hidupnya. Pada tahun 1993, ia dinobatkan sebagai Dalang Kesayangan dalam Pekan Wayang Indonesia VI. Dua tahun kemudian, Presiden Soeharto menganugerahinya Satya Lencana Kebudayaan Republik Indonesia (1995) atas jasa-jasanya dalam melestarikan dan mengembangkan seni tradisi.
Pada tahun 1997, ia menerima Anugerah Lebdocarito dari Keraton Surakarta sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya terhadap budaya Jawa. Gelar kehormatan pun turut disematkan kepadanya, yakni Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdonagoro, sebagai pengakuan atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan.
Selain mahir mendalang, Ki Anom Suroto juga dikenal sebagai pencipta gending dan penulis sanggit lakon wayang. Ia melahirkan sejumlah karya gending populer seperti “Mas Sopir”, “Berseri”, “Satria Bhayangkara”, “ABRI Rakyat Trus Manunggal”, “Nandur Ngunduh”, dan “Salisir”.
Dalam dunia pedalangan, ia menulis dan mementaskan berbagai lakon ciptaannya sendiri, di antaranya “Semar Mbangun Kahyangan”, “Anoman Maneges”, “Wahyu Tejamaya”, dan “Wahyu Kembar”. Setiap lakon tersebut sarat dengan pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan kondisi masyarakat modern, menjadikan karyanya tetap aktual dan digemari lintas generasi.