PPAKFT merujuk pada sejumlah aset sitaan yang sebelumnya telah digembar-gemborkan di media seperti rumah mewah milik bos First Travel di kawasan Sentul Bogor, Jawa Barat; gedung kantor First Travel di Jl Radar Auri Cimanggis Depok, Jawa Barat, dan; rumah tinggal di Kelapa Dua Depok. Selain itu, ada lagi barang sitaan berupa sejumlah unit mobil seperti Hummer, Toyota Vellfire, Toyota Fortuner, Mitsubishi Pajero Sport, Mercy E 250, dan lain sebagainya.
Pengacara para terdakwa, yaitu Puji Wijayanto dan Wawan Ardiyanto, dalam persidangan telah memohon agar aset-aset yang disita sebagai barang bukti itu segera dijual dan hasilnya diberikan kepada para korban First Travel. Di pengadilan Wawan Ardianto juga memberikan pernyataan dan memperkirakan seluruh aset tersebut bernilai Rp200 miliar. Kuasa hukum lain dari para terdakwa, yakni Muhammad Akbar, bahkan mengklaim bahwa aset First Travel mencapai Rp300 miliar.
“Akan tetapi, menurut perkiraan PPAKFT, nilai aset perusahaan itu ternyata bukan Rp200 miliar atau Rp300 miliar seperti yang disebut para pengacara itu. Namun hanya sekitar Rp25 miliar yang jika dibagi kepada 63.310 korban kejahatan First Travel, masing-masing jamaah diperkirakan hanya akan menerima sekitar Rp200.000,” kata Luthfi.
Merujuk pada perkembangan kasus tersebut, para jamaah korban First Travel mendesak LPSK melakukan semacam intervensi untuk menyelamatkan aset perusahaan itu. Sebab, menurut mereka, LPSK juga mempunyai yurisdiksi untuk melindungi harta korban kejahatan.
“Mekanisme restitusi melalui LPSK ini agaknya dapat juga dilaksanakan berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juncto Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban,” ucap Luthfi.