Kemudian membuat embung dengan tujuan menampung suplai aliran air hujan serta untuk meningkatkan kualitas air. Selanjutnya melaksanakan monitoring titik panas, melakukan patroli dan gencar melaksanakan sosialisasi.
“Sosialiasai karhutla ditujukan kepada para pengusaha, masyarakat, dan pemerintah daerah,” ujar Sigit.
Di samping itu, Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipiter) Bareskrim Polri sebagai leading sektor penegakan hukum juga membangun Geo Spatial Analitic Center (GSAC). GSAC merupakan pusat pelaporan titik panas dan pelaporan wilayah terkait Karhutla dengan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelegence) untuk menganalisa titik panas yang berpotensi sebagai karhutla.
“GSAC terintegrasi dengan sistem yang ada di kementerian/lembaga terkait. GSAC memiliki kemampuan untuk menyajikan informasi kepemilikan lahan, data layer perkiraan cuaca, lahan gambut, lahan moratorium, HTI, HGU, Polda, Polres, Polsek, embung, kanal, dan lainnya,” ucap Sigit.
Sigit menegaskan karhutla memberikan banyak dampak negatif. Berdasarkan catatan World Bank, kerugian negara yang diakibatkan oleh Karhutla sepanjang tahun 2019 mencapai 5,2 miliar Dolar AS atau setara dengan Rp72,95 triliun. Hal ini berimplikasi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Selain berdampak terhadap ekonomi, Karhutla juga menciptakan persepsi negatif global terhadap minyak kelapa sawit asal Indonesia; gangguan kesehatan, kerusakan hutan, terganggunya sistem transportasi, perdagangan, industri hingga pariwisata.