Karena sampai saat ini Polri merupakan satu-satunya pihak yang telah meneliti objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi, maka sesungguhnya Roy dan Rismon tidak memiliki justifikasi ilmiah untuk mengeluarkan pernyataan melompat bahwa "ijazah Jokowi palsu" maupun "ijazah Jokowi palsu".
Apabila salah satu dari dua kalimat itu yang mereka kemukakan, tanpa pernah meneliti objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi, maka patut diduga bahwa Roy dan Rismon telah melakukan fabrikasi (mengada-adakan suatu penilaian atas suatu objek yang faktanya tidak pernah mereka teliti). Dan fabrikasi sedemikian rupa, sekali lagi erupakan scientific misconduct.
Penting dicatat: uraian di atas juga berlaku bagi Josua Sinambela, ahli digital forensik yang berseberangan pendapat dengan Roy dan Rismon. Penilaian "asli" yang ia lontarkan perlu dievaluasi melalui tahap-tahap yang sama. Pertama, apa objek yang ia teliti. Kedua, bagaimana redaksional simpulan "asli" yang ia susun. Dan ketiga, apakah di dalam kerja saintifiknya itu terkandung scientific error atau scientific misconduct.
Pastinya, setali tiga uang dengan Roy dan Rismon, Josua pun tidak otoritatif menyimpulkan "ijazah Jokowi palsu" atau "ijazah Jokowi asli" selama objek yang ia analisis bukanlah objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi. Apabila kalimat sedemikian rupa yang ia kemukakan sebagai simpulan, padahal ia tidak meneliti objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi, maka Josua pun berpotensi dinilai melakukan scientific misconduct.
Bahkan sekalipun perbuatan Roy, Rismon, dan Josua dapat digolongkan sebagai scientific misconduct, masih dibutuhkan kesepakatan nasional terkait bentuk tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka masing-masing dan juga kepada para ilmuwan lain yang melakukan kesalahan serupa. Selama kesepakatan itu belum ada (apalagi kesepakatan dalam bentuk norma hukum pidana), maka sanksi maksimal bagi Roy, Rismon, dan Josua cukup berupa sanksi etik dan akademik.
Tentang Ijazah
Ada beragam versi sejarah tentang pihak-pihak di belakang malapetaka 30 September 1965. Tapi lima kalangan dengan pendapat-pendapat sejarah yang variatif itu tidak lempar caci maki dan tidak pula melakukan kriminalisasi satu sama lain. Pengecualian ada pada Sukmawati Sukarno. Di dalam bukunya, ia melontarkan sumpah serapah kepada Soeharto. Kendati begitu, keluarga atau pun pendukung Soeharto tidak membalas sama sekali, apalagi melaporkan Sukmawati ke polisi.
Begitulah idealnya dialektika antarpenulis sejarah. Enam hasil studi mereka menyediakan metode dan simpulan yang tidak habis-habisnya untuk dikaji oleh peminat dan peneliti sejarah berikutnya. Itu juga ideal karena tidak ada catatan buruk tentang bagaimana kaum cerdik cendekia meringkuk dalam penjara akibat buah pemikiran mereka. Sehingga, tidak ada trauma di kalangan ilmuwan-ilmuwan lainnya untuk terus memproduksi perspektif beragam tentang 30 September 1965.
Kalau cara penyikapan serupa juga publik di Tanah Air kenakan pada kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, maka Roy, Rismon, dan Josua, plus jika ada saintis-saintis yang berbeda pandangan dengan mereka, tidak akan berbenturan secara pribadi dan berkonflik secara hukum. Sebaliknya, antarkubu ilmuwan tersebut akan bergelut sebagai sekondan yang terus menelurkan ilmu pengetahuan baru.
Penyikapan kritis dan fair atas peristiwa kelam 30 September 1965 terbentuk karena kejadian tersebut terbuka bagi siapa pun. Semua pihak punya akses untuk menjadikannya sebagai tema studi sekaligus mengaplikasikan metodelogi riset masing-masing terhadap objek berupa peristiwa historis itu. Alhasil, seandainya akses terhadap ijazah Jokowi juga terbuka bagi siapa pun, maka penyikapan kritis dan fair serupa akan terbangun juga.
Namun nasi telah menjadi bubur. Tema tentang ijazah palsu Jokowi yang tadinya potensial mendatangkan keasyikan jangka panjang untuk diteliti, dikaji, diteliti lagi, dikaji kembali, sekarang kadung berbelok menjadi isu ketersinggungan hati. Polisi pun telah menguncinya sebagai masalah hukum yang harus diselesaikan lewat litigasi. Litigasi berkonsekuensi bahwa di hilir nanti akan ada yang didudukkan sebagai terdakwa bahkan mungkin terpidana. Getir memang.
Akibatnya, pegang omongan saya: kelak sembarang ilmuwan akan ngeri menyoroti ulang lembaran kertas (konon) keluaran Universitas Gadjah Mada yang seyogianya menjadi objek riset itu.