Kasus (Tudingan) Ijazah Palsu Jokowi: Lakukan Cross Examination

iNews
Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel (Foto: Istimewa)

Tapi bisakah nasi yang telanjur menjadi bubur itu dibalik menjadi nasi lagi? Ada peluang untuk itu.

Pertama, pijakannya adalah mendorong hakim untuk tahu akan efficacy norm. Efficacy norm adalah salah satu pisau analisis untuk menilai putusan hakim, yakni dengan menakar seberapa jauh hakim sanggup memuat kajian-kajian sains dalam produk hukum. Norma ini sekaligus meminta 'pertanggungjawaban' hakim yang menyidangkan perkara yang pembuktiannya sangat mengandalkan ilmu kedokteran, fisika, balistik, psikologi, kimia, telematika, dan berbagai disiplin sains lainnya.

Dalam perkara semacam itu, sebetulnya hakim dituntut seketika menjadi ilmuwan semu (pseudo scientist) lintas disiplin. Tidak ada alasan bagi hakim untuk mengakui betapa peliknya memahami kompleksitas sains dalam waktu singkat, lalu harus mampu membuat putusan berdasarkan khazanah keilmuan yang sejatinya asing tersebut.

Kedua, menyelenggarakan fairness terkait akses ke barang bukti maupun objek perkara. Artinya, bukan hanya jaksa atau penyidik yang dapat melakukan uji ilmiah terhadap objek yang disebut sebagai ijazah Jokowi. Agar azas fairness terpenuhi, hakim sepatutnya memberikan kesempatan setara kepada terdakwa untuk juga melakukan uji ilmiah terhadap objek tersebut. Sehingga nantinya kepada hakim disodorkan dua versi uji ilmiah, dan sepenuhnya terserah hakim untuk memercayai salah satu versi sebagai dasar untuk memutus perkara.

Praktik fairness terkait akses ke barang bukti maupun objek perkara didemonstrasikan pada perkara OJ Simpson. Setelah mencermati dua versi uji ilmiah atas barang bukti (kain), hakim ternyata justru berpandangan sama dengan terdakwa bahwa barang bukti yang diuji forensik oleh penyidik adalah compromised, corrupted, dan contaminated. OJ Simpson pun divonis tidak bersalah.

Dari persidangan itu, publik di Amerika memperoleh penguatan untuk selalu kritis terhadap kerja kepolisian. Kebenaran ternyata memang tidak serta-merta, absolut, dan selalu berada di tangan polisi. Segala benda yang dihadirkan di persidangan, termasuk hasil uji forensik oleh polisi sekalipun, tidak boleh dipandang apriori dan harus dibuka untuk diuji oleh semua pihak yang beperkara. 

Ketiga, efficacy norm semestinya membangun keinsafan bahwa sebagai manusia, hakim sesungguhnya tidak sanggup memiliki khazanah sains yang mencukupi untuk menangani perkara dengan bobot keilmuan lintas disiplin yang amat sangat pelik. Untuk itu, mekanisme ala blue ribbon jury patut dipraktikkan sebagai inovasi yudisial. Yakni, menugaskan hakim khusus (bukan generalis) yang benar-benar cakap untuk memahami, mengkritik, dan menyintesis perspektif saintifik di ruang sidang.

Akhirul kalam: seandainya objek perkara yang disebut sebagai ijazah Jokowi itu palsu, apakah itu perwujudan scientific error ataukah scientific misconduct

Allahu a'lam.

Editor : Maria Christina
Artikel Terkait
Nasional
14 jam lalu

Pakar Forensik Yakin Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Masuk Persidangan

Nasional
20 jam lalu

Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang Perdana Bahas Ijazah Jokowi: Ini soal Integritas

Nasional
22 jam lalu

Dr Tifa Sebut Ijazah Jokowi Baru Ditunjukkan jelang Tengah Malam: Kondisi Tak Ideal

Shorts
24 jam lalu

Roy Suryo Ungkap Dalang Pelapor Kasus Ijazah: Jokowi Kamu Itu Jahat Banget

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal