Didik J Rachbini
Ekonom Senior
PEJABAT publik dalam beberapa tahun terakhir ini sering mengeluarkan kebijakan sembarangan dan bersifat ngawur. Pada periode kedua Jokowi, hal itu menjadi hal biasa dan sukses membuat undang-undang semau gue. Ini terjadi karena DPR dikendalikan secara mutlak oleh kekuasaan yang kuat, ditambah pilar buzzer-buzzernya.
Contoh pertama adalah UU IKN yang tidak melalui proses yang wajar kecuali titah presiden. Lembaga-lembaga yang merupakan pilar demokrasi diberangus secara "demokratis" oleh presiden. Misalnya, KPK dipindah menjadi lembaga pemerintah. Bahkan menyulap pun bisa terjadi. Karena bertentangan dengan UU, maka UU-nya diberangus lewat MK.
Pola seperti ini terus terjadi sampai saat ini. Yang terbaru adalah kebijakan buruk PPATK yang semaunya memblokir rekening tidak aktif selama 3 bulan, dengan alasan mencegah penyalahgunaan untuk kejahatan, pencucian uang dan sebagainya.
Ini sebenarnya menyalahi tugas dan fungsi PPATK sendiri. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010, tugas dan fungsi PPATK memang secara umum adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, sebagaimana juga dilakukan oleh OJK, BI, dan internal bank. Jika ada laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), maka PPATK bekerja sama dengan dan melaporkannya kepada aparat hukum. PPATK bukan aparat hukum yang bisa bertindak sendiri lalu memblokir secara masif akun-akun yang dianggap terindikasi tersebut.
Tugas dan fungsi PPATK bersifat tidak langsung dalam hal penindakan, yakni memberikan rekomendasi hasil analisis kepada penyidik, jaksa, atau hakim. Aparat hukum yang berwenanglah yang dapat menentukan apakah rekening nasabah bisa diblokir atau tidak. PPATK tidak memiliki kewenangan langsung untuk memblokir rekening nasabah bank.