Ubedilah juga menyoroti ketidakefisienan proyek tersebut yang dianggap melanggar perjanjian awal dengan China. Menurut dia, kontrak awal menargetkan proyek rampung pada 2019, namun kenyataannya baru selesai pada 2023.
“Jadi memang enggak efisien dan melanggar perjanjian. Kemudian kita tahu ketika kontrak dengan China itu perencanaannya itu selesai 2019 apa yang terjadi baru selesai tahun 2023 Jadi molor. Jadi menurut saya di era sangat mudah dan negara membangun sesuatu yang sangat mercusuar tetapi dengan cara-cara yang maaf ya sangat tradisional,” ujarnya.
Selain masalah kerugian dan keterlambatan, Ubedilah juga mengaitkan proyek ini dengan indikasi kuat adanya praktik korupsi.
“Biasanya sebuah proses kebijakan yang inkonsisten kemudian anggaran yang berubah-rubah, lalu ada pembengkakan dalam analisis politik dan banyak perspektif tentang studi korupsi, itu menunjukkan ada indikator kuat tanda-tanda korupsi di situ,” tutur dia.
Sementara itu, pengamat politik Boni Hargens meminta semua pihak tidak asal berasumsi terkait proyek Whoosh. Menurutnya, semua harus dilandasi dengan fakta hingga bukti-bukti hukum yang jelas.
"Sampai hari ini saya tidak melihat di balik narasi soal korupsi di dalam Whoosh, tidak ada bukti-bukti yang mengarah pada adanya tindak pidana korupsi di sana," kata Boni dalam program Rakyat Bersuara bertajuk 'Ada Korupsi Triliunan di Kereta Cepat?' di iNews, Selasa (21/10/2025).