Perpecahan mulai timbul setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Terjadi tarik-menarik kekuatan arah republik, antara yang menghendaki negara Uni Belanda, negara komunis, dan negara Islam.
Soekarno yang menyerap memiliki banyak ideologi mulai dari marxis, Alquran, dan Islam serta kitab lainnya tidak ingin Indonesia menjadi negara Uni Belanda, komunis, dan berazaskan Islam. Sebaliknya, dia menawarkan asas Pancasila.
Menurutnya, Pancasila merupakan ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi, sesuai dengan pergulatan batin, intelektual, dan budaya luhur bangsa. Usulan Pancasila ini kemudian disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.
Perlawanan hebat pertama-tama datang dari pihak komunis. Tahun 1948, kelompok Muso memproklamirkan Negara Madiun sebagai poros Soviet. Peristiwa yang dikenal dengan Pemberontakan Madiun ini dengan mudah ditumpas pemerintah Republik Indonesia.
Pemberontakan hebat selanjutnya datang dari Kartosoewirjo, saat diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII), di Tasikmalaya pada 7 Agustus 1949. Pemberontakan ini bahkan sanggup menyebar ke Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan Kartosoewirjo berhasil ditumpas dengan tertangkapnya dia oleh pasukan TNI di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. Dia lalu dijatuhi hukuman mati. Yang menyedihkan, surat hukuman mati itu ditandatangani oleh Soekarno.
Sempat terjadi pergolakan hebat dalam batin Soekarno saat harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, dan teman seperjuangannya Kartosoewirjo. Tanpa tanda tangan Soekarno, tentu Kartosoewirjo tidak akan ditembak mati.
Proses eksekusi terhadap Kartosoewirjo sempat tertunda hingga tiga bulan. Sebabnya, Soekarno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo manakala berkas itu berada di atas meja kerjanya.
Peristiwa ini sempat membuat Soekarno frustrasi, hingga akhirnya dia lempar berkas vonis tersebut ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya. Saat itu, putrinya, Megawati Soekarnoputri lah yang menyadarkan sang ayah untuk kembali.
Megawati menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati, namun dia mengingatkan Soekarno agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak mencampuradukkan antara hakikat persahabatan dengan tugasnya.