Keadaan pun makin genting, ditambah terjadi pertempuran hebat di Surabaya antara pasukan Indonesia dengan pasukan sekutu Inggris. Akhirnya, demi menjaga keselamatan Abdul Halim Perdanakusuma, lewat Menteri Pertahanan (Menhan) Amir Syarifuddin, pemerintah Indonesia membebaskan Abdul Halim Perdanakusuma.
Kemudian anak dari Haji Abdulgani Wongsotaruno dan Raden Ayu Aisah ini pulang kampung ke Sumenep, tempat kedua orang tuanya tinggal. Di kampungnya ini, Abdul Halim Perdanakusuma tidak bertahan lama.
Dengan kondisi peperangan yang cukup sengit, dibutuhkan untuk membangun kekuatan udara, cikal bakal Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Komodor Udara R Soerjadi Soerjadarma bersama dengan Komodor Muda Udara Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh yang menjadi arsitek awal perancang kekuaran udara Indonesia waktu itu.
Namun diperlukan personel lagi untuk menambah kekuatan udara Indonesia. Seketika R Soerjadi Soerjadarma mendengar tentang bebasnya Halim Perdanakusuma. Dengan segera R Soerjadi memerintahkan untuk menghubungi dan mengajak Halim turut mengabdi kepada perjuangan bangsa Indonesia.
Halim yang saat itu tengah berada di kampungnya, langsung menerima tawaran tersebut untuk membela angkatan udara Indonesia. Dimulai saat itu Abdul Halim Perdanakusuma mengawali tugasnya ikut serta membina dan merintis perkembangan AURI dengan pangkat Komodor Muda Udara.
Sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimilikinya, Halim diserahi tugas sebagai Perwira Operasi Udara. Ia bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi udara. Selain itu, dia juga diserahi tugas sebagai instruktur navigasi di sekolah penerbangan yang didiirikan dan dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto.
Tanggal 29 Juli 1947, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mendapat perintah menyusun serangan udara balasan atas agresi militer I Belanda. Serangan itu menyasar tiga kota yang dikuasai Belanda, yaitu Semarang, Salatiga dan Ambarawa.