Pasukan Kiai Mojo lalu digiring ke Klaten, lalu dibawa ke Batavia, ditahan hingga setahun lamanya. Di awal 1830, Kiai Mojo bersama lebih dari 60 orang pengikutnya dibuang ke Minahasa. Istrinya menyusul setahun kemudian.
Kebanyakan pendampingnya itu punya posisi strategis dalam bidang kemiliteran dan keagamaan dalam pasukan Diponegoro. Mereka tiba di Tondano dan mendirikan Kampung Jawa di sana. Kiai Mojo wafat di tempat pengasingan pada 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun.
Roh perjuangan Kiai Mojo tertuang dalam manuskrip berbahasa Jawa huruf pegon yang ditulisnya di Tondano, Minahasa, sekitar awal tahun 1833. Tertulis dalam manuskrip itu kalimat "berjuang untuk kepentingan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam".