Berpegang teguh pada sikap pantang tunduk kepada Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan berbagai upaya keras untuk melancarkan gerilyanya, terutama di wilayah Angke-Tangerang, yang menjadi area terdepan.
Dikenal sebagai ahli taktik dan siasat perang, Tirtayasa melakukan penyerbuan dan perampasan kecil-kecilan terhadap kapal Belanda. Tepat pada tahun 1652, Tirtayasa mengirimkan sejumlah tentara untuk menyerang Belanda di Jayakarta (kini Jakarta).
Berbagai penyerangan kecil tercatat sering terjadi di berbagai tempat, di mana kedua pihak sering bertemu. Karena itulah, Belanda menjadi khawatir dan memblokade pelabuhan, serta melarang kapal-kapal kecil melakukan aktivitas di Banten, baik itu berlabuh maupun berlayar.
Sultan Ageng Tirtayasa juga berjuang meruntuhkan monopoli dagang VOC selama berkuasa. Banten diketahui mengungguli Makassar dan Aceh sebagai bandar perdagangan lada paling besar di Nusantara.
Hal itulah yang membuat VOC merasa terganggu dalam menjalankan monopoli dagangnya. VOC menganggap Tirtayasa sudah mengganggu monopoli dagang VOC dan mengimplementasikan pemerintahan kontra VOC.
Penolakan monopoli digaungkan Tirtayasa karena dinilai sangat merugikan Banten. Perlawanan pun semakin gencar dilakukan ketika VOC menutup jalur perdagangan Banten. Namun, dengan kemampuan taktik yang dimilikinya, Banten berhasil menjalin relasi dagang dengan negara-negara di Asia, seperti Persia, China, dan India.
Derasnya perlawanan yang diberikan, membuat Sultan Ageng Tirtayasa menjadi musuh besar VOC. Demi menangkapnya, VOC mendorong sang putra mahkota, Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau Sultan Haji, untuk menjemput ayahnya.
Sultan Ageng Tirtayasa pun ditangkap pada Maret 1683 di Istana Surosowan. Ia kemudian dipenjara hingga akhir hayatnya pada tahun 1692. Demikian kisah perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa.