Salah seorang rekan Bagyo yakni Rosil yang kelak menjadi pengusaha di Yogyakarta sekaligus aktivis Muhammadiyah mengungkap saat itu tidak ada yang percaya dengan omongan Bagyo.
“Waktu itu Subagyo sudah sangat yakin dirinya akan bisa menjadi jenderal. Tapi teman-temannya tidak ada yang percaya. Bagaimana mungkin dia bisa mewujudkan impiannya itu, kami tahu latar belakangnya,” kata dia.
Subagyo lahir 12 Juni 1946 di Desa Piyungan, Kabupaten Bantul atau sekitar 15 kilometer arah timur Yogyakarta. Dia anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Yakub Hadiswoyo dan Sukiyah. Saat lahir, namanya hanya Subagyo (tanpa embel-embel Hadisiswoyo). Su berarti lebih, bagyo diartikan bahagia.
Untuk ukuran masyarakat desa pada masanya, kondisi ekonomi keluarga Hadisiswoyo tergolong biasa-biasa saja. Rumah Hadisiswoyo berdinding gedek (anyaman bambu) dengan lantai tanah. Untuk membantu ekonomi keluarga, Sukiyah berjualan di pasar. Adapun Yakub dikenal sebagai juru penerang yang bekerja pada Djawatan Penerangan.
Saat kawan-kawannya tertawa mendengar keinginan menjadi jenderal, Subagyo merasa tersinggung. Maklum, semula dia berharap mereka akan mendukung dan memberikan doa. Tak tahunya semua meledek dan menganggap cita-cita itu mustahil.
Di titik inilah Subagyo justru terlecut. Semua guyonan dan nada-nada sinis dari para teman lamanya itu menjadi cambuk baginya untuk membuktikan impian itu bukan omong kosong. Bagyo pun bertekad untuk mewujudkan keinginan itu.
“Suk, aku dadi bintang papat (besok, aku jadi bintang empat),” kata Bagyo dalam hati.