Gina Fauziah, S.Sos, MI.Kom
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
NAMA I Wayan Agus Suartama menjadi sosok viral dengan nama Agus "Buntung". Pria disabilitas tunadaksa ini sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pelecehan fisik. Kasus ini dilirik oleh banyak pihak di media sosial, salah satunya #Closethedoor Podcact Deddy Corbuzier dengan menghadirkan seorang korban percobaan rudapaksa sebagai tamu. Tayangan itu ditonton oleh lebih dari 10 juta orang dalam waktu kurang lebih 15 hari.
Hal ini mengindikasikan bahwa kasus Agus Buntung memiliki keunikan tersendiri di mata khalayak luas. Data RI (2013) mencatat jenis disabilitas tertinggi di Indonesia adalah tunadaksa yaitu 717.312 jiwa atau 33,74 persen.
Tunadaksa terdiri atas dua kata, yakni tuna dan daksa. Tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang artinya tubuh (Bilqis, 2015). Secara etimologis, tunadaksa yaitu individu yang sulit mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai bawaan, karena luka, penyakit, ketidaksempurnaan pertumbuhan, dan mengakibatkan penurunan dalam kemampuannya melakukan gerakan tubuh tertentu.
Secara umum penyandang tunadaksa memiliki risiko yang tinggi untuk terpapar berbagai macam sumber stres, sehingga dikelompokkan pada orang dengan faktor berisiko tinggi. Keadaan tubuhnya yang cacat dapat membuatnya merasa rendah diri, menarik diri dari lingkungan, frustrasi, dan sebagainya yang nantinya dapat memengaruhi sejauh mana mencapai kehidupan yang bahagia, serta memungkinkan mengalami risiko penurunan kualitas hidup (Pratiwi, 2018).
Namun, hal berbeda terjadi pada sosok Agus “Buntung” karena ia mampu memaksimalkan fungsi organ tubuh lainnya dalam berkomunikasi. Pesan verbal yang diucapkan oleh Agus “buntung” sebagai modal dalam menjalankan aksi rudakpaksa kepada korbannya nyaris berhasil pada beberapa korban.