Konferensi pers ini hakikatnya digelar terkait pengumuman penetapan resmi PT Nindya Karya (persero) yang merupakan perusahaan BUMN dan perusahaan swasta PT Tuah Sejati sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pelaksanaan Dermaga Bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari APBN tahun anggaran 2006-2011. Dalam kasus ini, negara diduga mengalami kerugian mencapai Rp313 miliar dari nilai total proyek Rp793 miliar.
Syarif menyebutkan sejumlah perusahaan terkait kasus dugaan korupsi proyek yang ditangani KPK. Kasus tersebut mulai dari korupsi proyek pembangunan P3SON Hambalang, kasus korupsi pemberian FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, korupsi pengadaan e-KTP, korupsi pembangunan IPDN Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau, korupsi (suap) PON Riau, suap reklamasi Jakarta, korupsi pemberian SKL BLBI, suap pembelian dan perawatan pesawat Garuda Indonesia, dan lain-lain.
"Salah satu tujuan penerapan pidana korporasi adalah agar orang-orang jangan menggunakan korporasi untuk melakukan kejahatan. Kedua, untuk kepentingan asset recovery atau pengembalian aset akibat kerugian negara," tegasnya.
Dia memaparkan, dari sisi asset recovery tentu tidak akan maksimal kalau hanya menggunakan instrumen hukum untuk orang per orangan saja. Pasalnya kalau pun uang pengganti yang diterapkan untuk orang per orangan maka sering kali harta kekayaannya tidak mencukupi sebagaimana yang dinikmati atau nilai kerugian negara.
"Karena itu korporasinya harus dimintai pertanggungjawaban. Dan ini bukan hal baru, karena di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Inggris sudah dilakukan dan lazim digunakan," ujarnya.