"Pendekatan semacam ini tidak hanya menghambat pertumbuhan psikososial anak, tetapi juga secara langsung bertentangan dengan semangat pendidikan yang inklusif, bermutu, dan berkeadilan sebagaimana dicita-citakan dalam kerangka kebijakan nasional," ucap dia.
Ketiga, program Dedi Mulyadi menunjukkan kecenderungan pemerintah daerah menjadikan siswa sebagai kambing hitam dalam merespons persoalan sosial seperti tawuran, merokok, konsumsi alkohol, hingga ekspresi identitas seksual.
"Pendekatan ini tidak hanya menyederhanakan persoalan, tetapi juga mengabaikan akar-akar struktural yang melatarbelakangi perilaku remaja," jelas Andar.
Atas dasar itu, kata dia, MAARIF Institute menolak segala bentuk pembinaan siswa melalui pendekatan militeristik. Selain itu, MAARIF Institute juga mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memberikan arahan tegas agar penyelenggaraan pendidikan selaras dengan visi nasional.
"Meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, dan lembaga perlindungan anak lainnya untuk segera melakukan pemantauan dan asesmen terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat," ujar Andar.
Dia juga mengimbau masyarakat sipil, organisasi profesi pendidikan, dan komunitas keagamaan bersuara menolak normalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan.