Dalam sidang tersebut, panitia Diksar Mahepel mengakui terjadinya pelanggaran aturan serta meminta maaf atas kejadian yang menimpa Fariz. Pihak panitia juga menyatakan kesediaan untuk bertanggung jawab atas kelalaian tersebut.
Sebagai bentuk sanksi, mahasiswa yang terlibat diminta membuat surat pernyataan tidak mengulangi pelanggaran dan menghadapi hukuman sosial berupa pembersihan embung penuh kotoran.
Prof Nairobi menjelaskan, tindakan ini diambil agar para peserta memahami betapa pentingnya nilai kepedulian terhadap lingkungan.
“Pertama, membuat surat pernyataan bahwa jika terulang lagi maka mereka akan dibekukan organisasinya. Kedua, sebagai pendidikan bagi mereka, kami menghukum dengan membersihkan embung yang luas itu penuh dengan kotoran,” katanya.
Pada April 2025, mahasiswa Mahepel, Pratama Wijaya Kusuma meninggal setelah didiagnosis menderita tumor otak. Pihak kampus mendatangi keluarga untuk menyampaikan belasungkawa dan memastikan tidak ada niatan keluarga untuk menuntut.
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis kemudian melakukan pertemuan dengan orang tua Pratama. Hasilnya, keluarga korban menyatakan tidak berniat menuntut ataupun mengaitkan meninggalnya Pratama dengan kegiatan Diksar.
“Saya minta Wakil Dekan mendatangi keluarga, kemudian penyelesaiannya seperti apa. Setelah bertemu, beliau menyatakan tidak ingin menuntut,” kata Nairobi.