Kinerja Rendah
Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhana mengatakan, pihaknya selama ini selalu menyertakan naskah akademik maupun syarat lain untuk memastikan agar pembahasan raperda segera dibahas DPRD. Memang tidak semua raperda perlu menyertakan naskah akademik. Misalnya, raperda APBD, raperda APBD perubahan dan raperda pertanggungjawaban APBD.
"Data mana yang belum dikasih naskah akademik? seinget saya kalau kita menyampaikan, saya sudah berikan lampirkan naskah akademik ataupun penjelasan," katanya.
Sejak 2015 hingga 2019, DPRD hanya mengusulkan 29 raperda. Sedangkan pada periode yang sama pemerintah DKI mengusulkan 106 raperda. Artinya mulai dari perencanaan Prolegda (program legislatif daerah), secara kuantitatif, inisiatif DPRD kalah jauh dibandingkan dengan usulan Pemerintah atau eksekutif.
"Sebagai legislator, inisiatif minim dari DPRD tersebut tak mencerminkan fungsi lembaga legislatif sebagai penanggung jawab pembentukan regulasi, sesuai dengan nama lembaganya: legislatif/legislator," kata peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada iNews.id.
Minimnya prolegda yang diusulkan DPRD, menurut dia, bisa jadi karena kegagalan anggota legislatif mengartikulasikan kebutuhan masyrakat Jakarta. Hal ini menunjukkan kesenjangan relasi antara DPRD dengan konstituennya.
Rendahnya kinerja DPRD dapat juga dilihat dari jumlah usulan yang muncul selama lima tahun masa yakni, 136 raperda. Dari jumlah itu, hanya 40 yang dibahas dan yang berhasil ditetapkan sebagai perda hanya 27 buah.
"Hanya sekitar 20 persen kinerja legislasi DPRD jika dihitung berdasarkan jumlah raperda yang direncanakan dengan hasil yang ditetapkan. Dibandingkan dengan raperda yang dibahas, kinerja legislasi DPRD hanya 29 persen. Semuanya jauh di bawah 50 persen," tuturnya.
Lucius menilai, fakta kinerja DPRD DKI sangat memprihatinkan. Selain berada di Ibu Kota Jakarta, DPRD DKI menjadi etalase bagi legislator daerah lain di Indonesia.
Kinerja DPRD DKI, menurut dia, tidak berbanding lurus dengan pendapatan belanja daerah (APBD) yang jauh di atas rata-rata provinsi lain. Padahal, dengan dukungan dana yang besar, anggota parlemen Kebon Sirih seharusnya lebih produktif menghasilkan perda.
"Sayangnya terbukti tak ada korelasi antara besarnya anggaran dan tingginya kinerja," ujar Luzius.
Dia memastikan, rendahnya kinerja DPRD hampir pasti bukan karena minimnya dukungan atau fasilitas yang disediakan untuk menggenjot capaian legislasi. Namun lebih pada komitmen untuk menjadi wakil rakyat yang bisa diandalkan.
"Komitmen itu begitu rendahnya sehingga DPRD lebih suka menikmati kursinya sebagai pejabat ketimbang bekerja keras melayani aspirasi warga Ibu Kota dalam melahirkan aturan yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat di era yang makin modern ini," tutur Lucius.
Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta agar anggota DPRD Terpilih 2019-2024 mengambil hikmah dari kinerja para seniornya yang sudah habis masa baktinya. Dia berharap tak ada lagi keterlambatan dalam melayani masyarakat Jakarta.
"Dengan adanya kebaruan harapan ada peningkatan produktifitas. jadi jangan saling menyalahkan," katanya di gedung Polda Metro Jaya, Jumat (23/8/2019).
Dia juga berharap anggota DPRD baru meninjau regulasi kunjungan kerja yang biasa dilakukan para anggota legislatif. Bagaimana harapannya tak ada lagi anggaran yang terbuang sia-sia, tanpa adanya implikasi buruk bagi pelayanan warga Jakarta.