JAKARTA, iNews.id - DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 dinilai gagal mencapai target pengesahan rancangan peraturan daerah (raperda). Sejak dilantik pada 25 Agustus 2014, para wakil rakyat Ibu Kota ini hanya menyelesaikan 43 peraturan daerah (perda), padahal masa jabatan para legislator tersebut bakal berakhir akhir pekan ini.
Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Sereida Tambunan mengklaim, apa yang dikerjakan pihaknya sudah sesuai dengan kebutuhan Jakarta saat itu. Artinya, dia melihat banyak atau tidaknya perda yang dikerjakan saat ini bukanlah satu ukuran melainkan sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Sereida juga mengatakan banyak peraturan yang tumpang tindih sehingga pihaknya kesulitan merancang rapreda menjadi perda. Belum lagi, naskah akademik raperda yang lambat diserahkan.
"Memang banyak usulan-usulan peraturan daerah tetapi kalau misalkan analisis akademisi-nya juga tidak ada, baru tumbuh kemudian pelengkapan terkait dengan itu kita tidak bisa juga bahas," katanya kepada iNews.id di DPRD DKI Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Pada 2015, DPRD dan pemerintah DKI sepakat memasukan 17 raperda ke program pembentukan peraturan daerah (propemperda). Namun, selama satu tahun legislatif Kebon Sirih hanya bisa menetapkan tujuh perda.
Jumlah penetapan raperda menjadi perda pun tak kunjung naik dari tahun ke tahun. Pada 2016, dari 23 raperda hanya berhasil menetapkan enam perda. Jumlah tersebut juga sama pada 2017, yang memasukan 32 raperda, hanya enam yang menjadi perda atau 12,5 persen.
Sedangkan pada 2018, baik eksekutif maupun legislatif memasukan 46 raperda yang masuk dalam propemperda. Namun hanya selesai 11 perda atau hanya 23,9 persen yang diselesaikan. Pada 2019, dari 18 raperda DPRD baru menyelesaikan enam perda.
Sereida mengaku, pembahasan raperda tidak semata-mata langsung diputuskan karena harus mendengarkan pendapat-pendapat seperti masyarakat kemudian tokoh maupun pakar. Pembahasan raperda bisa saja berhenti di tengah jalan jika belum memiliki data yang cukup untuk menjadi peraturan atau payung hukum yang kuat. Terkecuali raperda tersebut merupakan prioritas dan mendesak.
"Kalau misalnya di tengah jalan ternyata ditahan dulu ternyata kita belum punya data yang cukup itu bisa dilakukan tetapi oh ini mendesak tapi kita bisa melakukan seperti BB-NKB daerah-daerah penyangga kita ini kan sudah memutuskan untuk mengikuti 12,5 persen kita masih 10 persen," tuturnya.