Konsep kekerasan seksual bukan konsep kejahatan seksual. Meskipun saya pribadi lebih cenderung menggunakan istilah kejahatan seksual. Sebab konsep kekerasan seksual cenderung mengabaikan nilai legalitas pernikahan dan lebih pada persepsi perempuan sebagai korban kekerasan seksual.
Padahal sebenarnya hidup ini, utamanya kampus, perlu menghapus tindakan asusila dan kejahatan sekaual. Jadi selain soal menghapus kekerasan seksual karena tidak disetujui oleh korban juga menghapus kejahatan seksual karena tidak legal menurut agama dan peraturan perundang-undangan. Jadi landasannya selain hak individu juga menjaga martabat manusia, norma agama, dan Pancasila.
Meskipun Permendikbudristek No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tidak secara tersurat menegaskan legalitas pergaulan bebas yang dilakukan atas persetujuan, nyatanya telah jelas bahwa delik kekerasan itu hanya diukur dari persetujuan korban. Bukan keabsahannya menurut agama dan peraturan perundang-undangan. Padahal sudah jelas bahwa aktifitas seks menurut agama dan peraturan harus atas dasar legalitas agama dan pemerintah.
Jadi sebenarnya para ulama dan masyarakat sangat setuju atas adanya Permendikbudristek tentang penghapusan kekerasan seksual di kampus. Namun perlu disempurnakan dengan menegaskan norma yang digunakan adalah agama dan Pancasila bukan persetujuan korban semata. Bahkan lebih sempurna lagi manakala Permendikbudristek ini ditambahkan dengan penghapusan asusila dan kejahatan seksual di kampus.