Krisis juga bisa berbentuk smoldering crisis, yakni sadar ada masalah, hanya saja dibiarkan, bahkan mungkin ditutup-tutupi. Akhirnya, masalah bersifat kumulatif dan menjadi bencana besar bagi organisasi. Karena pemilu dan pilkada itu sirkulasi elite lima tahunan, sesungguhnya para penyelenggara pemilu dan pilkada baik KPU maupun Bawaslu paham benar pintu-pintu masalah yang mereka hadapi. Bahkan, sebagian dari mereka tumbuh kembang dalam karier kepemiluan baik sebagai penyelenggara, pengawas, pemantau independen, dan lain-lain.
Saat mereka menjadi penyelenggara dan mendiamkan atau berkonsensus untuk menjaga citra lembaga dengan cara turut menjahit tambal sulam persoalan, bukan mengatasinya, sudah pasti suatu hari krisis organisasi akan tiba. Contohnya suap pada komisioner. Ini bukan praktik baru, sesungguhnya salah satu yang kerap diingatkan publik dari para penyelenggara pemilu adalah soal integritas di samping kapasitas dan profesionalitas.
Pembenahan Kelembagaan
Ada empat catatan penting yang harus kita ingatkan ulang kepada para penyelenggara Pilkada 2020 yang sebentar lagi dilaksanakan. Pertama, hindari bahaya pola kolusif dalam memenangkan kandidat tertentu. Misalnya, kedekatan-kedekatan personal dengan para kandidat. Terlebih dalam konstelasi politik di banyak daerah, hubungan-hubungan personal kerapkali dominan menjadi pemantik subordinasi penyelenggara di bawah kendali kandidat. Misalnya saat KPUD maupun Bawaslu di daerah berhubungan dengan petahana (incumbent) yang maju di Pilkada.
KPU dan Bawaslu baik di pusat maupun di daerah harus berdiri dengan kepala tegak bahwa mereka adalah penyelenggara independen yang berdiri di tengah, tidak condong kepada siapa pun. Jika sikap KPU maupun Bawaslu sudah partisan, inilah awal krisis terjadi.
Kedua, pola transaksi politik penyelenggara dengan pihak ketiga yang menjadi "investor" kandidat. Sudah bukan rahasia, di setiap perhelatan pilkada banyak pengusaha yang berkepentingan memenangkan seseorang. Modus ini untuk mengamankan bisnis-bisnis si pengusaha di daerah yang berpilkada tersebut.
Dengan mendanai kandidat yang bertarung, pengusaha tersebut akan memiliki sejumlah kemudahan bisnis terutama jika kandidat yang didukungnya memenangi pertarungan. Guyuran uang untuk operasi pemenangan biasanya akan menyasar para penyelenggara pilkada selain operasi pembelian suara (vote buying ) dari pemilih. Jika penyelenggara tidak memiliki integritas tinggi, tentu akan larut dalam skema permainan haram tersebut.
Ketiga, praktik korupsi dan suap dalam proyek-proyek yang melibatkan penyelenggara. Misalnya pengadaan barang dan jasa yang menggunakan anggaran penyelenggaraan pilkada. Banyak pihak yang berkepentingan mendapatkan proyek besar lima tahunan dari penyelenggaraan pemilu maupun pilkada. Pihak swasta yang berkepentingan tersebut modusnya adalah mendekati mereka yang memiliki posisi strategis. Praktik suap dengan beragam modusnya sering terjadi dari pintu ini.
Keempat, soal tata kelola yang baik (good governance ) di internal yang sifatnya rutinitas implementasi hak dan kewenangan para penyelenggara. Birokrasi internal juga rawan menimbulkan ragam persoalan. Jangan tambal sulam menutupi kesalahan, melainkan harus dilakukan pembenahan.
Pilkada Serentak 2020 sudah di ambang mata. KPU perlu berkoordinasi dengan KPU daerah untuk mengatasi masalah. Dalam perspektif Teori Informasi Organisasi dari Karl Wieck dalam The Social Psychology of Organizing (1979) dikenal dua strategi komunikasi agar organisasi mampu mengurangi ketidakpastian, terutama saat krisis seperti saat ini. Dua hal tersebut adalah siklus perilaku komunikasi dan aturan bersama. Siklus perilaku membutuhkan prosedur aksi (act), interaksi atau respons (interact), dan penyesuaian (adjustment). Strategi ini untuk mengklarifikasi ragam persoalan yang belum jelas dan tengah dipertanyakan serta dikritisi publik.
Sementara itu, aturan bersama merupakan upaya untuk membuat konsensus apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan penyelenggara guna mencegah krisis meluas hingga daerah. Di tengah situasi seperti ini harus ada terobosan cepat dan tepat untuk mengantisipasi delegitimasi banyak pihak terhadap eksistensi lembaga sekaligus mengatasi demoralisasi yang mungkin dialami atau dirasakan banyak KPU di daerah. KPU sedang dalam krisis, jangan menambah dan memperluas krisis sehingga publik tak lagi percaya kepada mereka!*
*Artikel ini telah tayang di Koran SINDO