"Kita perlu memikirkan kebijakan yang berjangka panjang, bukan sekadar musiman. Kebijakan yang hanya berlaku sebentar lalu dicabut bisa membuat pasar tidak stabil. Saat masa berlakunya hampir habis, orang jadi ragu, beli atau tidak. Akhirnya, penjualan pun menurun," ujar Kukuh di Jakarta, Senin (19/5/2025).
Lebih lanjut, Kukuh meminta pemerintah tidak hanya fokus pada mobil listrik. Sebab, saat ini mobil hybrid dan LCGC juga memiliki peran penting sebagai tulang punggung industri otomotif Indonesia. Terlebih, dua jenis kendaraan tersebut menghasilkan emisi yang sangat rendah.
"Kami tidak meminta bantuan dalam bentuk utang atau subsidi. Yang kami usulkan adalah penundaan pembayaran pajak pada periode tertentu. Setelah ekonomi kembali pulih, pendapatan negara pun akan kembali," katanya.
Seperti diketahui, sejumlah brand memilih untuk berinovasi dalam menciptakan mobilitas ramah lingkungan dengan tak terpaku pada mobil listrik. Kukuh menyebutkan mobil jenis PHEV (plug-in hybrid electric vehicle) menjadi salah satu yang ramah lingkungan dan hemat bahan bakar.
"Ada kendaraan PHEV yang berhasil menempuh perjalanan Jakarta–Bali hanya dengan satu kali pengisian baterai dan satu kali pengisian bahan bakar, mencapai 1.300 kilometer. Jika teknologi ini digabung dengan bioetanol, potensi pengurangan emisinya luar biasa," ujarnya.
Kukuh berharap pemerintah bisa lebih luas dalam menyusun kebijakan di industri otomotif, sehingga ekosistem yang sehat dan daya saing kuat bisa terwujud.