BANDUNG, iNews.id - Istilah new normal atau normalitas baru, kadang juga disebut kelaziman baru, menjadi wacana baru untuk menggambarkan situasi penuh kebiasaan-kebiasaan dan budaya baru yang muncul akibat dampak krisis Pandemi Covid-19. Situasi ini merupakan “jalan tengah” yang mau tak mau harus dijalani umat manusia, setidaknya sampai ditemukan penawar ampuh atas Covid-19.
Teknologi informasi dan komunikasi atau digitalisasi merupakan tulang punggung utama bagi umat manusia untuk menjalani new normal namun dengan cara tetap produktif. Walau demikian, pantas dicermati bahwa hegemoni teknologi digital tersebut bukan bebas nilai belaka.
Pakar Kebijakan dan Legislasi Teknologi Informasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Danrivanto Budhijanto menengarai peradaban normalitas baru itu berpotensi atau bahkan telah menjelma menjadi platform kolonialisme digital yang mengancam kedaulatan virtual suatu negara dan bangsa. Situasi ini ditandai oleh begitu masifnya aplikasi video conference serta aplikasi “televisi” streaming media sosial yang banyak digunakan oleh individu, komunitas, korporasi, dan institusi.
“Pandemi Covid-19 juga telah membentuk peradaban normalitas baru dengan karakter personal, proporsional, dan virtual. Kemudahan dan kenyamanan dalam personalisasi atas aplikasi membuatnya menjadi pandemi virtual di masyarakat. Aspek-aspek ini menjadi akan penentu pemenang kolonialisme digital,” kata Danrivanto, Rabu (3/6/2020).
Namun, kata Ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi-Komunikasi dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Unpad ini, kebijakan dan legislasi tidak berlaku dengan proporsional bagi para penyedia aplikasi layanan film/video virtual tersebut, termasuk over the top (OTT). Status sebagai penyedia layanan internet kerap menjadi justifikasi pamungkas untuk imunitas pematuhan legislasi penyiaran, film, periklanan di Indonesia.