Konsumsi daging dalam negeri diketahui meningkat dari 2,3 kg per kapita menjadi 2,5 kg per kapita. Dalam kondisi supply yang berkurang akibat kebijakan Australia dan demand yang meningkat, otomatis akan berpengaruh kepada harga daging sapi.
Selama ini masyarakat Indonesia mengonsumsi daging sapi yang hidup, bukan frozen meat atau daging beku. “Kebutuhan daging sapi segar di Indonesia sekitar 85 persen, sedangkan 15 persen sisanya adalah frozen meat,” ujar Rossanto.
Selain faktor-faktor di atas, Rossanto juga memaparkan penyebab kenaikan harga daging sapi di Indonesia karena rantai pendistribusian daging yang panjang. Sebab, ada tambahan biaya pada penjualan daging sapi.
“Rantai distribusi daging sapi di Indonesia sangat panjang yang juga membuat harga daging sapi bertambah mahal,” jelasnya.
Rossanto memaparkan distribusi daging sapi di Indonesia sangat panjang, mulai dari peternak hingga berakhir di tangan konsumen. Peternak menjual sapi hidup kepada pedagang grosir berskala besar (pengepul). Kemudian pengepul menyerahkan kepada RPH (rumah potong hewan).
“Setelah proses pemotongan hewan di RPH, daging sapi didistribusikan kepada pedagang grosir berskala kecil lalu ke konsumen,” kata dia.
Rantai distribusi yang panjang juga membuat rantai ekonomi meningkat. Setiap rantai distribusi pastinya akan mengambil keuntungan. Lima rantai distribusi tersebut akan mendorong kenaikan harga daging sapi di Indonesia.