“Kita berbicara tentang data kesehatan yang sangat sensitif. Jika sistem keamanan belum matang, maka mempercepat digitalisasi tanpa perlindungan kuat justru bisa membuka risiko penyalahgunaan dan memperlemah kepercayaan publik,” ucap Sri Gusni.
Selain itu, aspek etika medis juga menjadi perhatian utama. Keputusan klinis yang dihasilkan oleh AI tidak boleh berdiri sendiri tanpa keterlibatan tenaga medis manusia. Kepercayaan pasien terhadap dokter tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan yang bekerja berdasarkan logika algoritma.
“AI hanya alat bantu, bukan pengganti. Kecerdasan buatan tidak punya empati, tidak bisa memahami konteks sosial, dan tidak menggantikan intuisi serta tanggung jawab moral seorang dokter dalam pelayanan kesehatan. Etika medis harus tetap jadi fondasi,” tegasnya.
Tata Kelola AI & Layanan Kesehatan
Sri Gusni juga menegaskan, sebagai bagian dari komitmen Partai yang dipimpin Angela Tanoesoedibjo ini dalam mendorong sistem kesehatan yang adil, inklusif, dan modern, pihaknya menegaskan pentingnya tata kelola kecerdasan buatan (AI) yang kuat dan berpihak pada rakyat, khususnya dalam sektor kesehatan.
Pemanfaatan AI tidak boleh hanya menjadi sekadar tren teknologi global, melainkan harus menjadi alat nyata untuk memperluas akses layanan medis, mempercepat deteksi penyakit, dan mengurangi ketimpangan pelayanan—terutama di daerah tertinggal dan terpencil.