Rizky Wahyuni
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Khusus Jakarta
"Siaran yang menyatukan bangsa adalah wujud nyata dari semangat Sumpah Pemuda di era digital."
SETIAP 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali menengok peristiwa penting yang mengubah arah sejarah yakni Sumpah Pemuda 1928. Tiga ikrar kebangsaan berisi bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia, menjadi fondasi lahirnya kesadaran nasional dan semangat persatuan di tengah keberagaman.
Kini, 97 tahun setelah ikrar itu bergema di Jakarta, semangat Sumpah Pemuda menemukan bentuk barunya dalam dunia penyiaran. Jika pada masa lalu para pemuda berjuang melalui pertemuan fisik dan tulisan, maka di abad ke-21, penyiaran menjadi ruang strategis untuk menyuarakan nilai-nilai kebangsaan, memperkuat kohesi sosial, dan menjaga kedaulatan informasi nasional.
Penyiaran Sebagai Ruang Kebangsaan
Penyiaran memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia menembus batas geografis dan sosial, menghubungkan masyarakat dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote. Melalui siaran radio, televisi, dan kini platform digital, masyarakat dari latar belakang berbeda dapat mendengar suara yang sama, suara Indonesia.
Namun, tantangan penyiaran di era digital semakin kompleks. Komersialisasi konten, hoaks dan disinformasi, serta dominasi budaya global mengancam fungsi penyiaran sebagai perekat sosial. Dalam situasi ini, lembaga penyiaran tidak cukup hanya menjadi industri hiburan. Ia harus hadir sebagai penjaga nilai, etika, dan persatuan bangsa.
Landasan moral dan etik itu telah dituangkan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Aturan ini bukan sekadar norma teknis, melainkan cerminan komitmen penyiaran untuk menghormati nilai kebhinnekaan, melindungi kepentingan publik, dan menolak segala bentuk siaran yang menimbulkan kebencian atas dasar SARA. Dengan kata lain, P3SPS adalah manifestasi modern dari semangat Sumpah Pemuda di dunia penyiaran.
Bahasa Siaran, Bahasa Persatuan
Sumpah Pemuda mengajarkan pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Dalam konteks penyiaran, penggunaan bahasa yang santun, inklusif, dan mudah dipahami publik merupakan bagian dari tanggung jawab moral lembaga penyiaran. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat membangun peradaban.
Siaran yang baik harus menjunjung bahasa Indonesia tanpa melupakan bahasa daerah. Bahasa nasional menjadi jembatan antarbudaya, sementara bahasa lokal menjadi akar yang memperkaya identitas kebangsaan. Ketika kedua hal ini berpadu dalam ruang siar, maka semangat persatuan yang diikrarkan para pemuda 1928 itu menemukan kehidupannya kembali.